D-ONENEWS.COM

Mengawal Kembali Berdirinya Rumah Nasionalisme Radio Bung Tomo

Surabaya,(DOC) – Perayaan HUT RI tanggal 17 Agsutus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato kenegaraan dengan judul Karno Mempertahankan garis Politiknya Yang Berlaku “ Jangan Sekali – kali Meninggalkan Sejarah “. Pada pidato itu, Presiden Soekarno menyebutkan antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya. Disebutkan pula bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ( MPRS ) belumlah berposisi sebagai MPR menurut UUD 1945. Posisi MPRS sebenarnya nanti setelah MPR hasil pemilu terbentuk. Nah intinya dalam pidato itu , Presiden mengingatkan betapa pentingnya kita belajar dari sejarah, agar kesalahan yang pernah kita lakukan tidak akan berulang kembali.
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah sejarah perjuangan panjang bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaannya. Paska proklamasi kemerdekaan, apakah kemudian tentara Belanda dengan membonceng kekuatan tentara Gurka bisa menerima begitu saja kemerdekaan itu, ternyata tidak. Pertempuran melawan penjajahan Belanda terus dikorbankan oleh bangsa Indonesia melalui para pejuangnya. Tak terkecuali di Surabaya, didahului sebuah deklarasi gerakan resolusi jihad, 19 Oktober 1945, NU menegaskan perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang mencoba menginvasi kemerdekaan Indonesia. Pertempuran melawan penjajajahan Belanda terus digelorakan oleh Soetomo, yang kelak dikenal dengan sebutan Bung Tomo. Tidak sedikit darah dan nyawa dikorbankan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui pertempuran Surabaya. Kobaran semangat pekik “ Allohu Akbar “ yang digelorakan oleh Bung Tomo, mampu membakar semangat arek arek Suroboyo yang berasal dari banyak suku yang kebetulan berada di Surabaya. Ribuan nyawa gugur dalam pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945, hingga bendera merah putih biru milik Belanda yang berkibar di hotel Yamato Surabaya, diturunkan dan dirobek warna birunya, kemudian dikibarkan kembali menjadi bendera merah putih sebagi simbol kemerdekaan Indonesia.
Sejarah pertempuran Surabaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan Bung Tomo memimpin pertempuran Surabaya. Sebagai seorang jurnalis, tentu Bung Tomo sangat paham bagaimana menggelorakan semangat perjuangan arek – arek suroboyo. Maka melalui rumah radio yang terletak di Jalan Mawar 10, disanalah Bung tomo menggelorakan semangat perjuangan melalui saluran udara. Kobaran semangat melalui radio yang terletak di Jalan Mawar 10 itulah akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa direbut kembali, bahkan jendral Mallaby yang merupakan pemimpin pasukan penjajah, tewas diujung bambu runcing perjuangan arek – arek Suroboyo.
Rumah Radio jalan Mawar 10 itu telah menjadi kenangan, betapa tidak, di bulan Mei 2016, Rumah Radio itu telah dirobohkan untuk galeri kecantikan oleh PT. Jayanata, padahal rumah itu sudah terkategori sebagi bangunan cagar budaya melalui SK Walikota No. 188.45 / 004 / 402.2.04 / 1998. Tentu saja perobohan itu memantik keprihatinan beberapa aktifis yang peduli terhadap terbangunnya nilai – nilai nasionalisme yang tergabung didalam Komunitas Bambu Runcing Surabaya ( KBRS ). Keprihatinan mendalam muncul ketika penghancuran itu terjadi diera kepimimpinan Risma yang diusung oleh PDIP yang nota bene punya kewajiban untuk tidak melupakan sejarah sebagaimana pesan Bung Karno. Melalui beberapa aksi dan tuntutan yang dtujukan ke kepolisan sebagai Korwas, Jayanata, Pemkot Surabaya sebagai pihak yang mengeluarkan SK Cagar Budaya. Melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) Surabaya dan beberapa dialog yang dilakukan oleh KBRS, bahwa perobohan itu bisa dikenalan sangsi pelanggaran UU 11 / 2010 tentang pelestarian bangunan cagar budaya, namun sayangnya PPNS mepunyai pertimbangan sendiri lalu menggunakan pasal pelanggaran terhadap perdaa dan dikenai pelanggaran tipiring yang ancamannya sangat ringan dibandingkan dengan pelanggaran terhadap UU.
Upaya KBRS yang tak pernah henti, ternyata membuat repot para pihak yang diduga terlibat terhadap proses penghancuran rumah radio tersebut, tuntutan yang diajukan oleh KBRS sebetulnya sederhana, yaitu : Tegakkan proses hukum terhadap semua yang diduga terlibat terhadap penghancuran rumah radio tersebut, Dibeli oleh Pemkot Surabaya, Diminta untuk membangun kembali agar bisa menjadi rumah penanaman nasionalisme dan perjuangan rakyat Surabaya serta difungsikan untuk kepentingan publik. Melalui pendekatan pelanggaran perda yang dilakukan oleh PPNS, maka berdasar putusan PN Surabaya no. 1952 / Pidana Cepat / 2016 / PN Surabaya, Jayanata diputuskan bersalah dengan denda 15 juta subsider 1 bulan penjara serta ada kesanggupan untuk membangun kembali. Namun sayangnya bangunan itu masih dimiliki oleh pihak Jayanata.
Kita tidak bisa membayangkan kalau bangunan itu masih dimiliki oleh pihak swasta, bisa jadi akan terulang kembali penghilangan bangunan – bangunan cagar budaya di Surabaya kelak. Kita semua berharap bahwa Surabaya sebagai kota pahlawan agar lebih peduli terhadap bangunan – bangunan yang bernilai nasionalisme. Sehingga menjadi wajar ditengah keputusan yang kurang memuaskan itu, KBRS menuntut pemerintah kota Surabaya untuk membeli kembali bangunan itu, agar kelak bisa menjadi tempat belajar anak – anak Surabaya, disamping juga masih berusaha untuk mendorong kembali kepolisian untuk menggunakan UU 11 / 2010 terhadap penghancur cagar budaya rumah radio Bung Tomo Surabaya.(Surabaya, 31 januari 2017/r7)

Author : Isa Ansori (KBRS)

 

Loading...