D-ONENEWS.COM

Reni Astuti: Mau Dibawa Kemana Suroboyo Bus Dan Kelanjutan Program Trem

foto; Reni Astuti

Surabaya,(DOC) – Wakil Ketua DPRD kota Surabaya, Reni Astuti menyebutkan kepadatan jumlah penduduk Surabaya tertinggi di Jawa Timur. Bahkan data populasi di tahun 2018 yang ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi, disebutkan bahwa Surabaya dihuni oleh 2.886.000 jiwa dengan luas wilayah sebesar 350,54 kilometer persegi.

Apabila dihitung, maka tingkat kepadatan penduduk di Surabaya rata-rata mencapai 8233,01 jiwa/kilometer persegi.

Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, dengan jumlah penduduk tersebut, dipastikan dapat memicu terjadinya kemacetan lalu lintas dijalan-jalan protokol.

“Surabaya butuh sistem transportasi publik yang baik dan memadai. Terlebih Surabaya merupakan ibukota Jawa Timur yang memiliki fungsi sebagai pusat bisnis, perdagangan dan jasa, sehingga menarik penduduk kota sekitar untuk datang bekerja, bersekolah dan kuliah disini(Surabaya,red),” ungkap Reni Astuti lewat releasenya, Sabtu(29/2/2020).

Ia menambahkan, tingginya aktivitas dan pergerakan di Kota Surabaya, sejalan dengan kian bertambahnya angka kepemilikan kendaraan pribadi yaitu mobil dan sepeda motor.

“Saat saya berdiskusi dengan pakar Transportasi ITS, estimasi di tahun 2018 lalu, 83,99% penduduk menggunakan sepeda motor dan 2,53% lainnya menggunakan mobil. Komposisi data ini diperkirakan tidak banyak bergeser hingga sekarang,” tandasnya.

Reni menjelaskan, data penggunaan transportasi di Kota Surabaya menunjukkan bahwa warga masih memfavoritkan kendaraan pribadi.

“Salah satu alasannya, karena minimnya transportasi publik aman, nyaman, terjangkau dan memangkas waktu tempuh lebih cepat dibanding dengan kendaraan pribadi,” imbuhnya.

Upaya mengurai kemacetan telah dilakukan oleh Pemkot Surabaya dengan menghadirkan transportasi publik yakni Bus Suroboyo.

Menurut Reni, Suroboyo Bus yang diluncurkan pada 7 April 2018 lalu, perlu mendapat apresiasi lebih, lantaran sistem pembayarannya memakai tiket botol plastik bekas sebagai upaya kongkrit untuk mewujudkan program ramah lingkungan(ecofriendly).

“Namun sayangnya, ada beberapa catatan yang membuntuti Suroboyo Bus.  Sudah hampir 2 tahun beroperasi, tapi masih lebih menjadi sarana untuk rekreasi daripada solusi transportasi. Sampah plastik yang diperoleh di hari libur (weekend) lebih banyak daripada hari kerja (weekday),” keluhnya.

Reni membeberkan, bahwa berdasarkan data dari Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya,  penumpang Suroboyo Bus pada hari aktif kerja sekitar 2300 orang dan pada hari libur bertambah menjadi 2600 orang lebih.

“Weekend penumpangnya malah bertambah 300-an orang. Saat saya mencoba 4 hari berturut-turut naik Suroboyo Bus di hari kerja, ada penumpang yang memang rutin naik bus dan merasakan manfaat bus sebagai alat transportasi, beberapa orang yang mengaku baru naik karena ingin mencoba, ada juga penumpang Lansia naik bus untuk rekreasi bersama cucunya. Artinya beberapa penumpang saat weekday pun menggunakan bus juga untuk rekreasi,” paparnya.

Salah satu problem minimnya peminat Suroboyo Bus, lanjut Reni, ternyata terletak pada sistem pembayarannya yang hanya menerima sampah plastik. Sementara, warga yang tidak memiliki atau membawa botol plastik bekas tidak bisa terlayani.

“Sistem pembayarannya kurang fleksible dan tidak efektif. Mengapa tiketnya hanya menerima botol atau gelas?. Tidak menerima uang tunai?. Apa mungkin karena plat nomer bus yang masih merah sehingga Pemkot tak bisa menarik uang tunai ke penumpang?.

Bus Suroboyo ini sudah hampir 2 tahun beroperasi lho. Sudah saat dirubah(plat nomer merah jadi kuning,red),” urainya.

Alasan Pemkot tidak menarik biaya agar warga terbiasa naik bus, menurut Reni, juga dianggap kurang relevan. Mengingat faktanya,  warga kesulitan untuk mendapatkan layanan Suroboyo Bus.

“Warga tak bisa dengan mudah naik bus karena mesti ngumpulin sampah plastik dulu. Kenakan saja tarif super murah semisal Rp.1000,- untuk pelajar, Rp.2.000,- untuk umum, jika dengan pasang tarif khawatir akan membebani warga,” cetusnya.

Ia menyarankan, kebijakan untuk memberi tiket khusus kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan kelompok tertentu (bunda PAUD, kader Bumantik, kader PKK, pengurus RT/RW/LPMK, karang taruna dll) juga bisa diterapkan untuk memikat banyak warga beralih ke Suroboyo Bus, pada hari efektif kerja.

Target Outcome kebijakan yang dicapai, adalah meningkatnya jumlah warga yang terbiasa menjadikan Suroboyo Bus sebagai pilihan menggunakan transportasi umum, bukan pribadi.

“Pembayaran dengan menggunakan sampah plastik tetap dapat digunakan dan dikombinasikan dengan pembayaran pakai e-money atau model tiket berlangganan yg berlaku pekanan atau bulanan. Model pembayaran ini dinilai dapat memperluas jangkauan pelayanan Suroboyo Bus bagi masyarakat. Harapannya dapat mempengaruhi kebiasaan masyarakat untuk berpindah ke transportasi publik(Choice Rider). Yang menarik minat choice rider, adalah waktu tempuh yang singkat atau minimal sama, aman, nyaman, cara bayar mudah dan biaya yang lebih murah,” jelasnya.

Penyiapan feeder (moda pengumpan) juga sangat penting untuk memudahkan warga mengakses bus Suroboyo. Dalam hal ini Angkutan Kota(Angkot), Lyn atau Bemo.

“Mereka(Angkot,Lyn,Bemo) bisa diajak rembugan dan diberdayakan. Pemkot saat ini sudah menambah fasilitas park and ride dibeberapa ruas jalan, kedepannya ini perlu dikembangkan untuk feeder,” imbuhnya.

Bus Suroboyo menuju Moda Transportasi Berbasis Rel

Jika pengguna Suroboyo Bus sudah makin meningkat maka penambahan moda transportasi berbasis rel saat terealisasi akan teroptimalkan.

“Menuju kota bertaraf internasional, Surabaya sangat mungkin punya moda transportasi berbasis rel, tentu ini akan terwujud melalui kerjasama dengan Provinsi dan Pusat,” katanya.

Dalam Perpres 80 tahun 2019 telah mencantumkan Surabaya menjadi salah satu kota untuk percepatan pembangunan ekonomi di Jawa Timur dengan rencana pembangunan infrasturtur transportasi bisa menjadi harapan untuk solusi skema pembiayaan yang perlu disambut Pemkot dengan sigap.

Disamping itu, kata Reni, pada tahun 2020 ini Kementrian Perhubungan (Kemenhub) juga menawarkan ke beberapa kota termasuk Surabaya program Buy The Service (BTS) yang bisa mengurangi headway moda transportasi bus. “Surabaya bisa jemput bola program BTS untuk bisa realisasi di 2021,” tambahnya.

Reni mengatakan, Walikota Tri Risma sudah mengkonsep sistem transportasi massal Trem untuk koridor utara selatan dan LRT untuk koridor timur barat. Namun hingga 1 tahun sisa akhir masa pengabdiannya, gagal realisasi karena faktor pembiayaan yang tidak cukup dibebankan hanya dengan APBD kota.

“Sebenarnya sejak awal memimpin, awal tahun 2011 saya masih ingat di ruang rapat Pemkot. Walikota memaparkan konsep trem dan LRT yang akan diwujudkan di Surabaya kepada DPRD Surabaya. Salah satu kendala utama hingga kini belum terwujud memang persoalan pembiayaan. Sementara secara regulasi sudah tersupport di perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dimana moda transportasi berbasis rel sudah diatur,” jelas Reni yang kini tengah diusulkan sebagai Bakal Calon Wali Kota (Bacawali) di internal partainya.

Upaya Penambahan ruas jalan juga sudah ditingkatkan secara signifikan. Diantaranya mulai frontage jl A Yani sisi timur dan sisi Barat. Jalan MERR mulai Kenjeran sudah tembus hingga pintu tol ke arah Bandara Juanda dan arah luar kota. Infrastruktur Park and Ride juga mulai diperbanyak. Beberapa hal yang belum tuntas, perlu dikaji mendalam dan mendapat solusi bersama.

“Semoga apa yang sudah dipikirkan dan diupayakan oleh Walikota Tri Risma saat ini bisa terealisasi oleh Walikota selanjutnya, dan lebih baik lagi,” pungkasnya.(adv/robby)

Loading...

baca juga