Jakarta,(DOC) – Fakta baru terungkap soal industri kesehatan di Indonesia, Menkes (Menteri Kesehatan) Budi Gunadi Sadikin menyatakan harga obat-obatan dan alat kesehatan di Indonesia tergolong sangat mahal.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) jengkel fakta ini. Maka dari itu, hari ini dirinya menggelar rapat internal untuk mencari cara agar harga obat-obatan dan alat kesehatan bisa jadi lebih murah.
Budi Gunadi yang ikut dalam rapat mengatakan pihaknya diberi pesan agar harga alat kesehatan dan obat-obatan di Indonesia bisa jadi lebih murah daripada Malaysia.
“Pertama, harga alat kesehatan dan obat-obatan itu bisa sama dong dengan negara tetangga. Kan di kita harga alat kesehatan dan obat-obatan mahal,” ungkap Budi Gunadi, dikutip Rabu (3/7).
Faktanya, Budi Gunadi menyampaikan ada perbedaan harga obat hingga tiga bahkan lima kali lipat dibandingkan dengan Malaysia. “Bedanya itu bisa 300% bahkan 500%,” katanya.
Maka dari itu, Budi Gunadi mengatakan pihaknya dan kementerian lain diminta mencari cara agar harga obat dan alat kesehatan bisa ditekan. Menurutnya, ada inefisiensi dalam tata kelola perdagangan di sektor kesehatan, hal ini yang jadi perhatian Jokowi untuk dijabarkan.
Dua minggu lagi, bakal ada rapat lanjutan setelah semua kementerian dan lembaga melakukan kajian mendalam soal faktor apa saja yang akan membuat harga obat-obatan bisa jadi lebih murah.
“Apa itu tadi ada inefisiensi dalam perdagangannya, jual belinya, banyaklah. Apakah masalah tata kelola, pembeliannya, kita juga mesti bikin supaya lebih transparan. Ada biaya-biaya yang mungkin harusnya tidak harus dikeluarkan,” papar Budi Gunadi.
“Itu sebabnya kita harus mencari kombinasi semurah mungkin, tapi isunya bukan hanya di pajak saja,” lanjutnya.
Menkes Budi Gunadi juga buka-bukaan soal adanya kebijakan yang tidak konsisten membuat industri kesehatan tak bisa berkembang. Hal itu berhubungan dengan kebijakan bea masuk barang impor untuk alat kesehatan.
Dia menerangkan ada contoh kasus pada penyediaan alat USG di tanah air. Menurutnya, selama ini mengimpor alat USG yang sudah jadi hanya dikenakan bea masuk 0% saja.
Namun di sisi lain, ketika ada industri yang mau mengimpor bahan baku dari luar negeri untuk membuat mesin USG bea masuknya justru besar sampai 15%.
“Misalnya kita beli 10 ribu USG, kalau beli 10 ribu USG kita penginnya kalau bisa pabrik USG ada di kita dong, padahal bea masuk impor USG 0%. Tapi kalau kita ada pabrik dalam negeri beli komponen layar USG, elektronik USG, bahan bakunya malah dikenai bea masuk 15%,” papar Budi Gunadi.
Dari kasus ini, Budi Gunadi bilang ada inkonsistensi antar kebijakan di Indonesia. Di satu sisi industri ingin didorong lebih maju, namun tidak didukung oleh kebijakan insentif.
“Kan ada inkonsistensi, satu sisi kita ingin dorong industri supaya produksi dalam negeri, tapi supporting insentif system-nya nggak align,” kata Budi Gunadi.
Padahal, Jokowi yang berpesan agar industri kesehatan dalam negeri bisa diperbaiki tata kelolanya. Jangan sampai pengembangan industri kesehatan di dalam negeri tak bisa berkembang.
“Presiden juga pesan obat-obatan dan harga kesehatan industri dalam negeri dibangun supaya bisa resilience kalau ada pandemi lagi,” pungkasnya. (dtc)