Surabaya,(DOC) – Beroperasinya bus double deck di Surabaya hasil hibah Bank Mayada menjadi sorotan kalangan legislative.
Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya, Rio Pattiselano mengatakan, idealnya pemkot tidak cukup hanya menerima bantuan bis itu, melainkan juga menghitung biaya ber-iklan dari branding yang ada di badan bis tingkat tersebut.
“Inikan bicara tentang berapa biaya reklame karena saat bis berjalan kan bawa nama tersebut. Saat berkeliling dilihat banyak orang. Cuma diberi bis, selesai. Maka dia (perusahaan,red) cut budget marketing ini tidak boleh,” tegasnya.
Rio yang juga ketua Pansus Raperda CSR itu, menyarankan, agar Pemkot seharusnya mencari solusi yang saling menguntungkan, termasuk juga harus menghitung nilai ekonomisnya.
Ia menjelaskan, jika manfaat perusahaan lebih besar dan ada selisih dari nilai ekonomis, maka sisanya bisa dibayarkan melalui CSR lainnya atau kompensasi berbeda.
Cara ini, menurut dia, sudah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta, karena bila sistem ini diteruskan, maka dimungkinkan Pemkot Surabaya akan kehilangan pendapatan asli daerah (PAD).
“Saya sudah pernah menanyakan ini ke pihak pemkot, tapi jawabannya berlainan. Ada yang bilang belum dihitung ada yang sudah. Saya yakin belum,” ujarnya.
Sementara itu Raperda CSR yang sekarang sedang disusun oleh Komisi B, kata rio, masih menunggu jawaban dari Pemkot terhadap usulan draft yang disampaikan Pansus CSR.
“Sekitar 70% sampai 80% akan ada perubahan dari yang lama,” kata Rio.
Politisi partai Gerindra ini menganggap, ada yang salah dari mekanisme penerimaan CSR oleh Pemkot karena bentuknya hibah.
“Ini tidak boleh, ada perbedaan antara hibah dan CSR,” tegas Rio.
Apalagi selama Pemkot bertindak sebagai pelaksana pembangunan, seperti yang pernah dilakukan terhadap renovasi Taman Bungkul.
“Seharusnya perusahaan yang melakukan pembangunan. Tapi yang terjadi selama ini perusahaan memberikan dana CSR kemudian Pemkot yang melaksanakan pembangunan,” pungkasnya.(lm/r7)