
Surabaya, (DOC) – Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, meminta orang tua lebih ketat mengawasi anak-anak selama Ramadan 2025. Langkah ini di lakukan untuk mencegah perang sarung yang sering terjadi di malam hari.
“Kami sudah berdiskusi dengan Kapolrestabes. Saat ini, kepolisian bersama Satpol PP terus bergerak hingga dini hari untuk menjaga ketertiban,” ujar Eri, Kamis (13/3/2025).
Ia menegaskan, pengawasan orang tua sangat penting agar anak-anak tidak ikut dalam aksi tersebut. Ia juga meminta agar mereka berada di rumah sebelum pukul 21.00 WIB. Selain itu, anak-anak tidak di perbolehkan keluar setelah sahur hingga subuh sebelum sekolah.
“Kalau anak belum pulang pukul 21.00 WIB, segera cari atau hubungi. Jangan biarkan mereka keluar malam tanpa alasan jelas,” tegasnya.
Menurutnya, pencegahan perang sarung bukan hanya tugas aparat. Orang tua juga memiliki peran penting dalam membimbing anak. “Yang bisa menghentikan ini bukan hanya kepolisian atau Pemkot. Kasih sayang orang tua sangat berpengaruh,” tambahnya.
Meski begitu, Pemkot tetap menggencarkan patroli rutin bersama Polrestabes. “Satpol PP dan kepolisian sudah membagi wilayah dan terus berpatroli. Tapi yang paling utama adalah kesadaran warga sendiri,” kata Eri.
Perang Sarung dan Tawuran Remaja Jadi Perhatian
Kepala Satpol PP Surabaya, M. Fikser, melaporkan bahwa hingga H-12 Ramadan 2025, pihaknya hanya menemukan satu lokasi perang sarung. Kejadian itu terjadi di Jalan Ngaglik, Simokerto.
“Biasanya saat kami datang, anak-anak langsung bubar. Jadi kami lebih fokus pada pencegahan,” ujarnya.
Selain perang sarung, Satpol PP juga memantau potensi tawuran remaja. Pada 2024, gangguan ketertiban terjadi di 28 lokasi di 13 kecamatan. Sementara sejak Januari hingga 12 Maret 2025, di temukan enam titik rawan di empat kecamatan.
“Tawuran biasanya terjadi saat kelompok anak muda yang berkendara bertemu dengan kelompok lain. Jika merasa tidak cocok, mereka saling serang,” jelas Fikser.
Satpol PP tak hanya menindak, tetapi juga memberikan pembinaan. Anak-anak yang terjaring dibawa ke kantor untuk dibersihkan dan diperiksa kesehatannya. Mereka juga mendapatkan pendampingan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Beberapa anak dikirim ke Liponsos untuk menjalani kerja sosial. Mereka membantu membersihkan tempat dan menyajikan makanan bagi ODGJ.
Fikser menjelaskan, program Wisata Liponsos berdampak psikologis. Banyak anak merasa jera dan tidak ingin mengulangi perbuatannya.
“Kami juga melibatkan orang tua dan guru. Jika ada anak berbakat, kami arahkan ke kegiatan positif, seperti mural di Kembang Jepun,” pungkasnya. (r6)





