D-ONENEWS.COM

Desak KPU Untuk Rubah UU Pilkada

Surabaya,(DOC) – Elektabilitas yang kuat bagi pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota(Cawali-Cawawali) PDIP yaitu Tri Rismaharini – Wisnu Sakti Buana, dimaknai dengan tidak adanya calon tandingan dari Partai Politik yang mempunyai keterwakilan kursi di lembaga legislative. Sehingga DPC PDIP Surabaya mengeluarkan gagasan untuk Calon tunggal dan Pemilihan Walikota(Pilwali) di tetapkan secara aklamasi.
Menanggapi hal itu, KPU kota Surabaya menyatakan proses Pilwali yang di ikuti oleh satu pasangan saja, tidak diatur dalam Undang-Undang(UU) Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) nomer 8 tahun 2015. Ketua KPU kota Surabaya, Robiyan Arifin menyatakan, jika fenomenanya seperti ini, maka pihaknya akan melakukan konsultasi ke KPU pusat.
Anggota Badan Pemenangan Pemilu(Bapilu) DPC PDIP Surabaya, Adi Sutarwijono meminta KPU untuk segera memperjelas aturan Pilwali yang diikuti hanya satu pasangan Cawali – Cawawali kota SUrabaya.
“Dalam hal ini yang mempunyai legal standing adalah KPU, bukan partai politik, karena sejatinya dalam sebuah Pilkada hanya menyangkut kepentingan seorang Bacakada dan KPU sebagai penyelenggara, karena keberadaan partai politik hanya merupakan salah satu sarana,”paparnya.
Awi panggilan akrabnya Adi Sutarwiyono menyatakan, kondisi seperti ini merupakan tanggungjawab KPU kota Surabaya untuk memikirkan mulai sekarang dan berkonsultasi ke pusat.
“Dimana-mana, calon incumbent (petahan) itu sangat kuat, dan tak satupun calon Bacakada yang akan tetap maju jika sudah diketahui bahwa dirinya tidak bakal ada kemungkinan menang, artinya kemungkinan munculnya pasangan tunggal sangat besar, termasuk di Kota Surabaya, harusnya ini sudah menjadi pemikiran KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan pemerintah,” tegasnya.
Ia berpendapat, revisi UU Pilkada nomer 8 tahun 2015, adalah produk hukum Pemerintah yang bisa dirubah dengan menambah aturan baru yang memuat pasangan Cawali – Cawawali tunggal. Jika dirasa sulit, maka, menurut Awi, bisa hanya merivisi Cawali independent yang persyaratannya di rubah agar di peringan.
“Dalam UU yang baru, syarat dukungan 6,5 % itu sebenarnya sangat memberatkan calon perseorangan jalur independen, dengan kata lain, jalur ini sepertinya dipersulit, terbukti tak satupun calon yang muncul dan mendaftar, termasuk juga soal pelaksanaan Pilkada yang didesign hanya satu putaran, dan selisih kemenangan minimal 2,5 % dari jumlah pemilih,” jelasnya.
Ia menambahkan, Aturan yang menyebutkan keharusan peserta Pilwali minimal diikuti oleh 2 pasangan Cawali – Cawawali, juga masih banyak kelemahan. Mengingat potensi akan munculnya calon boneka sangat berpeluang besar.
“Lebih baik mengadobsi sistem demokrasi di daerah yang memunculkan bumbung kosong sebagai pesaing calon tunggal untuk dijadikan aturan dalam UU Pemilu, karena dengan demikian masyarakat masih tetap bisa terlibat dalam pesta demokrasi, jika tidak justru memicu munculnya calon boneka, yang tentu sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat utamanya para pemilih,” pungkasnya.(r7)

Loading...