D-ONENEWS.COM

Siswi SMA di Gowa Bunuh Diri Gara-gara Sekolah Online, Pakar Sebut Alarm Buat Kemendikbud

Gowa (DOC) – Siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan, berinisial MI (16) bunuh diri dengan meminum racun, Sabtu (17/10). Korban bunuh diri diduga akibat depresi lantaran banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya.

Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.

MI merekam aksi bunuh dirinya dalam sebuah video. Rekaman ponsel berdurasi 32 detik itu menunjukkan detik-detik ketika korban meminum racun rumput.

Jaringan Sekolah Digital Indonesia mengingatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) soal efektivitas pembelajaran jarak jauh atau PJJ. Respons ini disampaikan menyusul adanya siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan yang mengakhiri hidupnya lantaran depresi karena banyaknya tugas sekolah selama menjalani PJJ.

Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Muhammad Ramli Rahim menilai, peserta didik merasa depresi akan beban soal yang menggunung selama melakukan PJJ.

“Kejadian bunuh diri siswa ini seharusnya menjadi alarm yang sangat keras kepada pemerintah dan dengan tegas memperingatkan pemerintah bahwa masalah penugasan-penugasan ini adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa,” tegasnya, dilansir Merdeka.com, Rabu (21/10).

Tak adanya standar baku PJJ membuat proses belajar yang merupakan alternatif pembelajaran di tengah pandemi Covid-19 ini justru dianggap banyak membebani siswa.

“Kejadian ini menurut kami bukan kejadian tunggal. Stres yang dialami siswa akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak memiliki standar khusus dan cenderung sangat memberatkan siswa dari sisi tugas-tugas dari guru telah mengakibatkan depresi terhadap siswa yang akhirnya dapat berujung pada kejadian bunuh diri seperti ini,” ujar Ramli.

Ramli menilai, standar penugasan guru tidak diatur. Baik oleh Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Dia menganalogikan, jika setiap guru memberikan satu tugas setiap minggu, maka setiap siswa akan mendapatkan 14-16 tugas yang harus dituntaskan sebelum mata pelajaran dilanjutkan minggu depannya.

“Memang guru sangat mudah memberikan tugas apalagi mereka saat ini dengan dukungan LMS (learning management system) tak perlu tampil di depan kelas lagi dan cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, beban mata pelajaran yang diterima siswa menjadi masalah utama rendahnya kualitas pendidikan saat ini. Namun hingga kini tampaknya upaya penyederhanaan kurikulum masih mengalami jalan buntu.

“Nadiem Makarim seolah tidak punya formulasi untuk menuntaskan masalah jumlah mata pelajaran yang sangat membebani anak didik ini,” tegas dia.

Dia juga mengingatkan, seharusnya kepala sekolah dan para guru konseling (BK) mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa akibat banyaknya penugasan-penugasan yang dilakukan oleh para guru di suatu sekolah terhadap siswa. Sehingga bisa menjadi standar bagi guru-guru di sekolah tersebut untuk memberikan penugasan kepada siswanya.

“Setiap daerah seharusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet di daerahnya ketersediaan alat baik berupa tablet, smartphone maupun laptop dan komputer di daerah tersebut yang dimiliki oleh siswanya,” katanya.

Guru dan pemerintah juga dituntut mempertimbangkan kemampuan ekonomi siswa di daerah-daerah tersebut. Sehingga pemerintah tidak berlepas tangan cukup dengan memberikan kuota data kepada siswa saja tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi pembelajaran di masa pandemi Covid-19.

“Dan semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemendikbud,” ungkap Ramli. (mer)

Loading...