D-ONENEWS.COM

HOS Tjokroaminoto Ternyata Mertua Bung Karno, Nyatakan Cinta di Jembatan Peneleh

Foto: (Dok Humas) Rumah Lahir Bung Karno

Surabaya,(DOC) – Pada tahun 2010 lalu, setiap Juni telah di tetapkan sebagai Bulan Bakti Bung Karno atau Hari Kelahiran Soekarno. Peringatan tersebut merupakan upaya untuk terus merayakan dan melanjutkan gagasan serta pemikiran Soekarno, sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia (RI).

Berbicara mengenai Bulan Bakti Bung Karno, tentu tak bisa lepas dari Kota Pahlawan. Sebab, sejarah membuktikan bahwa Surabaya adalah kota kelahiran sekaligus tempat Bung Karno pertama kali belajar Islam.

Inisiator Komunitas Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo mengungkapkan, selain lahir pada 6 Juni 1901 di Jalan Pandean IV No 40 Surabaya, Bung Karno untuk pertama kalinya juga bekerja di Kota Pahlawan.

“Bung Karno pertama kali menikah dan kerja juga di Surabaya. Bahkan, ia juga pertama kali mengenal Islam di Surabaya. Jadi orang tidak banyak yang mengetahui,” kata Kuncar yang menjelaskan lewat selulernya, Rabu (8/6/2022).

Sejarah itu, kata Kuncar, berdasarkan catatan histori buku yang di tulis oleh Cindy Adams dengan judul ‘Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’. Buku tersebut juga menjadi tanda sekaligus bukti, bahwa Putra Sang Fajar lahir di Jalan Pandean IV No 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng Kota Surabaya.

“Catatan pertama, Bung Karno lahir di Pandean Surabaya. Namun saat itu, hanya enam bulan Bung Karno tinggal di Surabaya, yakni sejak lahir 6 Juni sampai 28 Desember 1901,” ungkap dia.

Menurut Kuncar, saat beranjak usia enam bulan, Raden Soekemi Sosrodihardjo atau ayah Bung Karno mendapatkan SK Mutasi ke Ploso, Kabupaten Jombang sebagai guru. Otomatis Putra Sang Fajar pun boyogan ikut ayahnya untuk tinggal bersama di Jombang.

“Baru usia 6 bulan Bung Karno lahir, lalu pindah ke Jombang. Nah, saat usianya menginjak 4 tahun, Bung Karno kemudian di bawa kakeknya ke Tulungagung, karena sakit-sakitan,” ujar Kuncar.

Namun, ketika usianya memasuki 7 tahun, ayah Bung Karno harus pindah tugas ke Mojokerto. Tentu saja Bung Karno junior turut serta dan menempuh pendidikan sekolah di sana. “Jadi saat Bung Karno umur 7 tahun itu pindah di Mojokerto. Di sana sempat tidak naik kelas satu tahun, sehingga sekolah sampai umur 15 tahun,” papar Kuncar.

Setelah lulus sekolah di Mojokerto, sang proklamator kembali pindah ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS). Yakni, sekolah untuk bumiputera yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda. Selama sekolah di HBS, Soekarno muda tinggal indekos di rumah milik Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, di Jalan Peneleh Gang VII Surabaya.

Selama mengenyam sekolah di HBS, Bung Karno terkenal sebagai pemuda yang pintar dan cerdas. Kuncar menyebut, jika kecerdasaan Putra Sang Fajar itu salah satunya lantaran suka membaca dan meminjam buku di perpustakaan Freemason, Jalan Tunjungan Surabaya.

“Bung Karno pintar karena menjadi member VIP perpustakaan freemason, sekarang jadi kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional). Padahal kelak, Bung Karno melarang sendiri organisasi freemason itu,” jelas dia.

Tak hanya mengenyam sekolah HBS atau setara pendidikan SMA di Kota Surabaya. Akan tetapi, kata Kuncar, Bung Karno saat usia 15 tahun itu juga untuk pertama kalinya mengenal Islam. Sang proklamator mengenal Islam karena di ajak HOS Tjokroaminoto mengikuti pengajian rutin setiap bulan di depan rumahnya.

“Di depan rumah Pak Tjokro yang sekarang menjadi Toko Buku Peneleh, itu dulu merupakan aktivis Muhammadiyah. Waktu itu organisasi Muhammadiyah baru berusia 8 tahun,” kata Kuncar.

Berdasarkan catatan sepengetahuan Kuncar, sebelumnya Bung Karno mengaku jika keluarganya belum pernah mengenalkan agama Islam. “Jadi pertama kali Soekarno mengenal agama Islam saat ikut pengajian di depan rumahnya Pak Tjokro,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, pada usia 21 tahun, Bung Karno kemudian di terima menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat. Namun, baru menempuh pendidikan kuliah, Soekarno mendapatkan informasi jika istri HOS Tjokroaminoto meninggal dunia. “Mendapatkan informasi Bu Tjokro meninggal dunia, sehingga dia (Bung Karno) memilih cuti kuliah tujuh bulan untuk balik lagi ke Surabaya,” katanya.

Di Surabaya, kata Kuncar, sang proklamator memilih bekerja sebagai petugas kereta api di Stasiun Semut. Itu merupakan kali pertama Putra Sang Fajar bekerja agar mendapatkan uang. “Selama 7 bulan itu Bung Karno bekerja di Stasiun Semut untuk mendapatkan uang dan uangnya itu di kasihkan ke Pak Tjokro,” ujar Kuncar.

Di waktu itu pula, Kuncar menyebut, adik HOS Tjokroaminoto menyarankan Soekarno muda untuk menikah dengan putri sulung Pak Tjokro, yakni Siti Oetari. Bung Karno pun setuju menikah dengan Siti Oetari, karena juga merasa iba dengan HOS Tjokroaminoto.

“Di atas Jembatan Peneleh, Bung Karno menyatakan cintanya kepada Oetari karena memandang Pak Tjokro galau setelah istrinya meninggal,” kata Kuncar.

Lantas pernikahan antara Soekarno dengan Siti Oetari kemudian di gelar. Menurut Kuncar, pernikahan Bung Karno dengan istri pertamanya itu berlangsung di Surabaya, tepatnya di ruang tamu rumah milik HOS Tjokroaminoto. “Setelah menikah dan cuti kuliahnya habis, dia (Bung Karno) kemudian memboyong istrinya ke Bandung untuk melanjutkan lagi kuliahnya,”  tandasnya.(hm/r7)

Loading...

baca juga