D-ONENEWS.COM

Inilah Sederet Ancaman Bagi Pekerja Pers di Tengah Pandemi Covid-19

Ilustrasi

Jakarta (DOC) – Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat tiga ancaman nyata yang dialami pekerja pers di tengah pandemi Covid-19.

Pertama, terkait ekonomi. Di saat perekonomian terus memburuk akibat wabah, perusahaan media ikut terkena dampaknya.

Para jurnalis yang semestinya menjadi garda terdepan penyampaian informasi tentang Covid-19, dihantui ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), pemotongan gaji, penundaan hingga dirumahkan.

“PHK sepihak, upah kerja yang rendah, gaji yang telat dibayar, dan kekerasan fisik sebenarnya sudah menjadi permasalahan serius bagi pekerja media di Indonesia hingga saat ini,” kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, melalui keterangan tertulis, Senin (4/5).

“Namun pandemi Covid-19 laiknya virus yang memperparah kondisi kesejahteraan jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Indonesia,” lanjutnya.

Ade mengatakan, posko pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang dibuka LBH Pers dan AJI Jakarta sejak 3 April hingga 2 Mei 2020 telah menerima 61 pengaduan pelanggaran ketenagakerjaan.

Pengadu tersebar dari 14 media atau grup media yang berkantor di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Rincian aduannya yaitu, 26 orang terkena PHK sepihak, 21 orang dirumahkan tanpa gaji atau dengan pemotongan gaji, 11 orang mengalami pemotongan/penundaan upah atau tunjangan, serta 3 lainnya tak dapat meliput selama pandemi.

Mayoritas media mengambil tindakan ini dengan dalih adanya pandemi Covid-19 sebagai force majeur atau keadaan darurat.

Namun, menurut Ade, berdasarkan peraturan perundang-undangan, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan.

Alasan force majeur tidak dapat serta merta digunakan untuk menghalalkan PHK ataupun pemotongan dan penundaan gaji. Misalnya force majeur sebagai alasan PHK, diatur dalam Pasal 164 Ayat (1),” ujar Ade.

Selain persoalan ketenagakerjaan, kasus kekerasan terhadap jurnalis ketika meliput ihwal Covid-19 juga dinilai mengancam kebebasan pers.

Sejak penerapan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran Covid-19, sudah terjadi sedikitnya 3 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Dua diantaranya dialami jurnalis bernama Mohammad Hashemi Rafsanjani dan Dinar saat melakukan peliputan kejadian warga meninggal diduga kelaparan di masa pandemi Covid-19 di Banten, 20 April lalu.

Keduanya menerima perlakukan intimidasi, penghalangan hingga penghapusan hasil liputan.

Peristiwa lain dialami oleh jurnalis kabardaerah.com, Sahril Helmi. Ia mengalami tindakan penganiayaan diduga karena pemberitaan terkait anggaran penanganan Covid-19 di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Ade mengatakan, transparansi informasi menjadi kunci utama penanganan wabah Covid-19. Sedangkan jurnalis merupakan instrumen untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi.

“Sehingga ketika ada jurnalis yang mendapat kekerasan karena sedang menjalankan tugasnya memberikan informasi, maka sebenarnya dia juga menghambat akses masyarakat terhadap informasi tersebut,” tuturnya.

Terakhir, LBH Pers menilai bahwa agresifnya DPR RI dan pemerintah dalam mendorong pengesahan RUU Cipta Kerja dan RKUHP memperburuk kondisi kebebasan pers.

RUU tersebut menjadi masalah yang serius, karena UU Pers termasuk sebagai salah satu UU yang direvisi.

Dalam perubahan tersebut, terdapat upaya pemerintah mengintervensi pers melalui adanya aturan turunan di bawah UU Pers mengenai sanksi.

UU Pers sendiri sampai saat ini tidak punya aturan khusus di bawah UU. Hal ini demi menciptakan independensi pers dan tidak adanya intervensi dari pemerintah.

Namun kini, independensi itu terancam dengan direvisinya RKUHP.

“Sedangkan RKUHP, di dalamnya masih banyak pasal-pasal yang bermasalah dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis seperti beberapa pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, berita bohong, dan contempt of court,” kata Ade.(kc)

Loading...

baca juga