D-ONENEWS.COM

Gerak Cepat Polri Usut Jenderal Terkait Joko Tjandra

Joko Tjandra

Jakarta (DOC) – Bareskrim Polri telah menetapkan Brigjen Prasetyo Utomo sebagai tersangka terkait kasus penerbitan surat jalan yang membantu buron Joko Tjandra. Langkah polisi ini terhitung respons cepat, mengingat mayoritas warga yang mengikuti jajak pendapat Tempo baru-baru ini menyangsikan kesungguhan Polri dalam mengusut kasus tersebut.

“Telah dilaksanakan gelar perkara untuk menetapkan tersangka, saudara BJP PU berdasarkan LPA 397/VII/2020 Bareskrim tanggal 20 Juli 2020, dilaksanakan pukul 10.00 WIB tadi di Propam,” kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, seperti dilansir dari Tempo, Selasa (28/7).

Tercatat ada tiga konstruksi hukum yang menjerat Prasetyo, yaitu pasal 263 KUHP ayat 1 dan 2 juncto pasal 55 ayat 1 kesatu E KUHP, pasal 426 ayat 1 KUHP, dan pasal 221 ayat 1 kedua KUHP.

Pasal pertama terkait dengan sangkaan membuat dan menggunakan surat palsu, di mana Prasetijo membuat Surat Jalan No. 77 tanggal 3 Juni 2020, Surat Keterangan Pemeriksaan Covid No. 990, Surat Jalan No. 82 tanggal 18 Juni 2020, Surat Keterangan Pemeriksaan Covid No. 151, juga Surat Rekomendasi Kesehatan No. 2214. Keseluruhan surat-surat tersebut digunakan untuk keperluan Joko Tjandra berikut pengacaranya, Anita Kolopaking.

Pasal kedua adalah terkait dengan membantu orang yang dirampas kemerdekaannya, dalam hal ini adalah tersangka Joko Tjandra sendiri. Listyo mengatakan sesuai dengan pengangkatan Prasetyo sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) yang seharusnya bertugas menegakkan hukum, dalam ini membiarkan atau memberi pertolongan kepada Joko Tjandra melalui penerbitan surat-surat seperti yang disebut dalam jeratan pasal sebelumnya.

Pasal ketiga adalah tentang Prasetyo yang telah menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan lewat penghancuran dan penghilangan barang bukti. Listyo mengatakan sangkaan ini telah diperkuat oleh beberapa keterangan saksi lainnya yang bersesuaian, dimana Prasetyo sebagai pejabat Polri menyuruh Komisaris Pol. Joni Andriyanto untuk membakar surat yang sudah digunakan dalam perjalanan Joko Tjandra dan Anita Kolopaking.

Listyo melaporkan sejauh ini Bareskrim sudah memeriksa sekitar 20 saksi terkait dengan kasus ini, dan terus akan mendalami terutama terkait dengan kemungkinan munculnya tersangka-tersangka baru. Fokus pengusutan adalah seluruh pihak yang terkait dengan proses masuk keluarnya Joko Tjandra dari Indonesia untuk keperluan pengurusan PK.

Sementara itu dalam jajak pendapat yang digelar tempo.co, pengusutan tiga jenderal yang membantu pelarian Joko Tjandra itu cukup mendapat perhatian besar pembaca. Pembaca umumnya tidak yakin Polri akan mengusut secara pidana tiga jenderal tersebut.

Pada jajak pendapat yang berlangsung pada 21-28 Juli 2020 tersebut, ada 979 pembaca tempo.co yang memberikan suara mereka terhadap persoalan ini. Sebanyak 860 orang (87,84 persen) tidak yakin Polri akan mengusut secara pidana tiga jenderal itu. Sementara 94 orang (9,61 persen) meyakini Polri akan mengusut secara pidana tiga jenderal itu, sedangkan sisanya sebanyak 25 orang (2,55 persen) mengaku tidak tahu.

Suara warga ini sejalan dengan usulan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) agar Dewan menggunakan hak angket untuk mengusut kasus pelarian Joko Tjandra, buron kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Usulan ICM tersebut mendapat tanggapan berbeda dari anggota Dewan.

Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan usulan ICW itu sejalan dengan gagasan partainya. Menurut dia, Joko Tjandra ditengarai memperdaya beberapa institusi negara termasuk pejabat dan sistemnya. “Lebih dari itu Joko Tjandra melakukan kejahatan baru yang berpotensi melibatkan banyak orang termasuk oknum pejabat,” ujar Didik, Senin, 27 Juli 2020.

Namun, Ketua Kelompok Fraksi Gerindra di Komisi III DPR, Habiburrokhman, menilai kurang tepat jika kasus Joko Tjandra digiring ke arah hak angket. Menurut dia, UUD 1945 dan Undang-Undang MD3 mengatur hak angket sebagai penyidikan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap bermasalah. “Kasus Joko Tjandra ini bukan soal kebijakan tapi soal oknum yang melakukan penyimpangan dan bahkan melanggar hukum,” ujarnya.(tc)

Loading...

baca juga