D-ONENEWS.COM

Perompak Sulu Filipina Sandera 2 WNI, Minta Tebusan Rp 14,3 Miliar, Pemerintah Menolak

Jakarta (DOC) – Aksi perompak Filipina kembali menyasar warga negara Indonesia (WNI). Kali ini, 2 WNI asal Sulawesi Barat bernama Samsul Sagunim (40) dan Usman Yusuf (35) dijadikan sandera. Para perompak menuntut tebusan sebesar empat juta ringgit atau sekitar Rp 14,3 miliar. Namun Pemerintah Indonesia mengatakan tidak akan memenuhi permintaan uang tebusan itu.

Kedua WNI yang berprofesi sebagai nelayan ini diculik ketika berada di kapal penangkap ikan berbendera Malaysia, Dwi Jaya I di Perairan Semporna, Sabah, Malaysia pada 11 September 2018.

Direktur Perlindungan Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, pemerintah akan mengupayakan jalan lain untuk membebaskan mereka.

“Pemerintah takkan melakukan negosiasi, apalagi memberikan tebusan kepada kelompok kriminal. Tapi dari pengalaman sebelumnya, kami sudah mengetahui formula yang paling tepat untuk melakukan pembebasan,” kata Lalu Muhammad Iqbal, kemarin.

Namun begitu, Iqbal enggan menjelaskan formula pembebasan seperti apa yang kini tengah dilakukan. Dia hanya menyebut, pemerintah akan menggunakan bantuan “orang ketiga” sebagai negosiator.

“Kami punya hubungan panjang dengan Filipina selatan, punya aset di hampir semua wilayah Filipina termasuk Kepulauan Sulu. Dan kita memanfaatkan aset-aset itu, hubungan dengan tokoh-tokoh di wilayah tersebut untuk pembebasan,” sambung Iqbal.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia telah mengetahui lokasi kedua sandera yakni di Kepulauan Sulu, Filipina selatan. Identitas pelaku penculik juga telah diketahui, akan tetapi Iqbal enggan membeberkan.

“Kita sudah mengetahui siapa pelakunya. Sudah ada dalam informasi,” katanya.

Ia menyebut upaya pembebasan kali ini terbilang sulit lantaran Kepulauan Sulu yang masih “panas” setelah operasi militer yang dilancarkan Presiden Rodrigo Duterte.

Sehingga pergerakan dari tim negosiator tak leluasa. Itu mengapa, Iqbal tak bisa memberi kepastikan kapan dua WNI itu bisa dilepaskan.

“Kalau kita ingin secepat mungkin, tapi yang penting WNI bebas dengan selamat,” sambungnya.

Sementara itu, pemerintah Indonesia menyesalkan sikap pemerintah Malaysia yang dianggap lepas tangan. Kata Iqbal, hingga saat ini pemerintah Indonesia tidak pernah menjalin kerja sama dalam usaha pembebasan tersebut. Padahal kebanyakan kasus penculikan WNI oleh kelompok bersenjata berada di wilayah perairan Malaysia.

“Karena itulah saat peristiwa terjadi, Menteri Luar Negeri Indonesia langsung menghubungi Menlu Malaysia. Karena harusnya siapa pun yang tinggal di Malaysia apalagi bekerja legal dijamin keamanannya,” tegas Iqbal.

Mengutip The Star, Komisaris Kepolisian Sabah, Datuk Omar Mammah mengatakan, para penculik telah menghubungi keluarga korban pada 18 September dan setelahnya mengontak pihak perusahaan. Saat komunikasi dengan bos WNI itu, pelaku meminta uang tebusan tapi tidak memberikan tenggat waktu.

Tak hanya itu, Omar Mammah mengklaim telah mengidentifikasi pelaku dan kelompok yang terlibat dalam penculikan. Namun ia tak mau membuka informasi tersebut untuk saat ini.

Tapi berdasarkan pengakuan dua nelayan lain yang berhasil melarikan diri, para penculik memiliki senapan otomatis dan berbicara dalam dialeg Tausug, logat khas yang biasa digunakan di Tawi-Tawi dan Sulu.

Peristiwa penculikan ini sendiri terjadi tatkala Sabah memberlakukan jam malam di laut dan sedianya berakhir pada 13 September 2018. Peraturan tersebut sudah dilaksanakan selama empat tahun karena banyaknya kasus penculikan.

Namun besar kemungkinan kebijakan itu akan diperpanjang lantaran meningkatnya ancaman dari penjahat lintas batas, termasuk dari kelompok Abu Sayyaf. Lebih lanjut, dia meminta kepada pelaku industri dan pemilik kapal agar memperhatikan keselamatan saat bekerja.

“Semua pekerja asing harus terdaftar di Departemen Imigrasi dan menyerahkan data pribadi ke kepolisian sebagai catatan dan untuk meyakinkan mereka bukan pelaku kejahatan,” katanya.

Dia juga menyarankan para pengusaha melengkapi tempat mereka dengan kamera pengawas CCTC dan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) di kapal untuk mempermudah pengawasan dan mencegah kejahatan.

“Semua pekerja asing harus terdaftar di Departemen Imigrasi dan perusahaan harus memberikan informasi pribadi para pekerja kepada polisi untuk memastikan bahwa orang-orang tersebut bukan penjahat,” ujarnya.(dtc/ziz)

Loading...

baca juga