Surabaya, (DOC) – Mendekati masa pendaftaran pasangan calon (Paslon) kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota, di wilayah Surabaya masih muncul satu Paslon Kepala Daerah, yakni Eri Cahyadi – Armuji. Paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya tersebut mendapat rekomendasi dari sejumlah partai politik (Parpol). Di antaranya PDIP, PKB, PPP, dan Demokrat. Menyusul PSI, PAN, Nasdem, dan rencana Golkar serta Gerindra juga merekomendasi Paslon petahana Eri-Armuji.
Sehingga prediksinya, pada kontestasi Pilkada Surabaya 27 November 2024 mendatang, Paslon petahana akan melawan bumbung kosong.
Direktur Eksekutif Republic Research Lasiono, SIP, M.IP, mengatakan, kondisi ini membuat demokrasi berjalan mundur ke belakang. Apalagi rumornya, seluruh Parpol akan mengusung ke Paslon petahana yakni Eri – Armuji.
Ia menilai beberapa hal, jika Pilkada Surabaya nanti hanya satu Paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota melawan bumbung kosong.
Pertama, partai politik dan elit partai di Surabaya tak menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik bagi Masyarakat.
“Padahal pendidikan politik merupakan agenda yang sangat penting. Karena dalam melangsungkan pembangunan Kota Surabaya, sebuah masyarakat memerlukan syarat untuk keterdidikan rakyat secara politik,” kata Lasiono, Sabtu(10/8/2024).
Ia menambahkan, masyarakat yang terdidik secara politik adalah warga negara. Sehingga bisa secara sadar mandiri ikut berpartisipasi, langsung maupun tidak langsung dalam proses pembangunan. Variabel Kehadiran Parpol di masyatakat dapat di lihat pada perannya dalam memberikan pendidikan politik.
“Sejauh mana Parpol mengawal demokrasi dengan memunculkan kader- kadernya yang terbaik untuk ikut dalam konstelasi Pilkada Surabaya. Kenyataannya sampai detik ini belum ada Parpol yang declare merekom kadernya maju di Pilkada melawan Paslon incumbant,” tandasnya.
Hal yang kedua, menurutnya, adalah matinya demokrasi dalam konteks Pilkada serentak di Kota Surabaya 27 November 2024.
“Pilwali (Pemilu Wali Kota,red) semestinya menjadi momentum untuk kembali menguatkan bangunan demokrasi Indonesia pasca Pemilu 2024 di daerah, khusus nya Surabaya,” katanya.
Prediksi Adanya Kelompok Tertentu yang Sudah Merencanakan
Pada era desentralisasi demokrasi ini, sambung Lasiono, Pemilu di daerah menjadi komponen penting. Demokrasi lokal akan mempengaruhi kehidupan politik suatu pemerintahan daerah dan pusat.
Nantinya, pemerintah pusat akan mendistribusikan sebagian kekuasaan ke tingkat daerah untuk di kelola sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Sementara kondisi politik sesungguhnya di Surabaya.
Parpol justru cenderung mengekor ke satu nama calon saja yakni Eri Cahyadi. Mereka berani mengambil resiko menerima demokrasi procedural yang sebenarnya tak menyentuh subtansi demokrasi itu sendiri.
“Ini bisa di buktikan ketidak-beranian Parpol mengusung calon melawan petahana Eri Cahyadi. Sama saja Masyarakat tak diberi pilihan dan di cekok I satu calon saja. Wajar kalau ada pihak-pihak yang mengatakan demokrasi politik di Surabaya terancam mati,” ujar Alumnus S2 Universitas Wijaya Kusuma (UWK) ini.
Hal terakhir, lanjut ia, di Surabaya merupakan gudang pemimpin muda dan tokoh masyarakat yang punya potensi untuk menciptakan perubahan positif ke depan.
Mereka memiliki semangat kepemudaan yang tinggi, prinsip keadilan dan komitmen untuk kebaikan bersama. Bahkan mereka bisa menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan masa depan cerah.
“Akan tetapi sampai hari ini mereka tidak muncul. Atau memang tidak di munculkan oleh partai-partai politik yang memperoleh kemenangan pemilu legislative 2024 di lembaga DPRD Kota Surabaya,” kata Lasiono bersemangat.
Dari pengamatannya, ia menduga bahwa kondisi seperti ini memang di ciptakan oleh seluruh Parpol yang ada di Surabaya agar Paslon petahana melawan bumbung kosong.
“Atau-kah memang ada kelompok tertentu yang ingin Pilwali Surabaya petahana lawan kotak kosong. Kalaupun ada, kelompok ini membahayakan bagi kelangsungan kehidupan politik di Surabaya nanti,” pungkasnya.