
Gresik,(DOC) – Lembaga Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak pengajuan kembali (PK) oleh Gubernur Jawa Timur dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dengan adanya status hukum tersebut, ECOTON menilai sudah saatnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama instansi terkait melaksanakan seluruh amanat pengadilan. Putusan itu berkaitan dengan penyelenggaraan dan pemulihan kualitas Sungai Brantas yang hingga kini masih menghadapi banyak pelanggaran dan permasalahan lingkungan.
Sebagaimana tercantum dalam perkara Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Sby, yang kemudian di perkuat melalui Nomor 117/PDT/2023/PT.SBY di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, pengadilan telah menetapkan sepuluh amanat konkret kepada tergugat.
Beberapa di antaranya mencakup permintaan maaf resmi kepada masyarakat di 15 kota dan kabupaten yang di lalui Sungai Brantas. Permintaan maaf itu terkait kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan yang menyebabkan kematian ikan secara massal setiap tahun.
Selain itu, pemerintah juga di wajibkan memasukkan program pemulihan kualitas air Sungai Brantas ke dalam APBN maupun APBD, serta memasang sistem pengawasan seperti CCTV di seluruh outlet pembuangan limbah cair industri di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.
Pengadilan juga memerintahkan agar di lakukan pemeriksaan independen terhadap seluruh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemeriksaan itu harus melibatkan akademisi, masyarakat, konsultan lingkungan, dan organisasi non-pemerintah (NGO).
Selain itu, pemerintah juga di wajibkan memberikan sanksi administratif terhadap industri yang membuang limbah cair melebihi baku mutu serta mengaktifkan tim satgas pengawasan limbah cair.
Kualitas Sungai Masih Buruk
Meski telah ada putusan yang jelas, ECOTON menilai pelaksanaannya belum menunjukkan kemajuan berarti. Berdasarkan survei terhadap 535 responden, sebanyak 62,1 persen warga Jawa Timur menyatakan bahwa pengelolaan Sungai Brantas masih buruk.
Sementara itu, 88 persen responden meyakini bahwa Sungai Brantas telah tercemar plastik dan limbah cair. Temuan ini menunjukkan bahwa kondisi sungai sebagai sumber kehidupan jutaan warga masih jauh dari kata pulih.
Melalui Koordinator Kampanye Alaika Rahmatullah dan Manajer Sains, Seni, dan Komunikasi Prigi Arisandi, ECOTON menyampaikan lima tuntutan utama kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Pertama, Gubernur Jawa Timur di minta menetapkan komitmen publik tertulis untuk melaksanakan seluruh amanat putusan pengadilan paling lambat dalam 60 hari kerja.
Kedua, ECOTON mendesak pembentukan Satuan Tugas Pemulihan Sungai Brantas yang berada di bawah koordinasi Pemprov Jatim. Satgas tersebut harus melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, LSM lingkungan, DLH, serta Kementerian PUPR dan KLHK.
Ketiga, pemerintah di minta memublikasikan tahapan dan jadwal pelaksanaan (roadmap) pemulihan sungai. Hal ini termasuk pemasangan CCTV di outlet industri, audit terhadap DLH, pemberian sanksi kepada pelanggar, serta pelaksanaan program edukasi publik.
Keempat, ECOTON menuntut adanya transparansi data dan laporan publik terkait pemantauan kualitas air, limbah industri, dan kondisi bantaran sungai.
Kelima, Gubernur Jawa Timur di minta secara terbuka meminta maaf kepada masyarakat atas kelalaian pengelolaan Sungai Brantas sebagaimana diperintahkan pengadilan.
Putusan MA Bukan Sekadar Formalitas
ECOTON menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung bukan sekadar kemenangan administratif. Putusan tersebut merupakan amanat hukum yang wajib di jalankan secara nyata, bukan sekadar retorika.
“Jika pemerintah daerah tetap menunda pelaksanaan, kami akan mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, termasuk mengajukan eksekusi putusan ke Pengadilan Negeri Surabaya,” tegas Prigi Arisandi.
Lebih lanjut, ECOTON mengajak seluruh warga Jawa Timur, komunitas bantaran sungai, pengguna air, petani, serta organisasi lingkungan untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan putusan ini.
“Sungai Brantas adalah sumber kehidupan jutaan warga. Keberadaannya tidak boleh di biarkan rusak, tercemar, atau terbengkalai,” ujar Alaika Rahmatullah menutup pernyataannya. (r6)





