Surabaya,(DOC) – Kuasa hukum terdakwa kasus penjualan barang sitaan Satpol PP, memberikan apresiasi atas sikap Pemkot Surabaya yang tak gegabah mengambil keputusan cepat. Yakni membebas tugaskan kliennya, Ferry Jokom.
Abdul Rahman Saleh, kuasa hukum terdakwa Ferry Jocom menyatakan,
status kepegawaian kliennya belum bisa di berhentikan, karena belum ada putusan inkracht dari pengadilan.
“Saya kira kalau terkait pemberhentian, pada intinya pak Ferry ingin diberhentikan setelah terbukti,” katanya.
Keputusan inkracht bukan cuma dari pengadilan Tipikor saja. Tapi ada jenjang lagi yang lebih tinggi yang harus di tempuh.
Untuk membuktikan benar atau tidaknya perkara tersebut.
Ia menambahkan, pemberhentian ASN yang terlibat korupsi ada mekanismenya.
“Prematur lah, mengatur strategi untuk cepat memberhentikan pak Ferry,” jelasnya.
“Di undang-undang ASN dan di aturan kementrian apapun. Kalau ASN melakukan Tipikor, memang harus di non aktifkan. Tapi itu bisa di proses sejak putusan inkracht di terima,” paparnya.
Jika mekanisme itu di potong kompas oleh Pemkot Surabaya. Maka terdakwa bisa melakukan gugatan.
“Kita gugat melalui PTUN, pasti pak Ferry gak akan tinggal diam. Karena hak dia kan harus di lindungi. Dia ngabdi ke negara 9 tahun. Masa penghargaannya seperti itu. Jadi hormati proses hukum yang masih bergulir,” sambungnya.
Sementara mengenai proses persidangan,
terdakwa Ferry Jocom bersikukuh tidak bersalah. Ia merasa tak menjual barang sitaan Satpol PP Surabaya.
Sehingga, kata dia, kliennya memohon untuk di bebaskan.
“Unsur pasal pidana yang di dakwakan, kan jelas menghancurkan. Tidak di pakainya suatu barang itu kan jelas, kesaksian Abdul Rahman di persidangan. Siapa yang menghancurkan, ya PT Raksa. Kenapa? kan dia yang menjualkan ke PT Raksa, bukan pak Ferry,” jelasnya.
Dalam perkara ini, kata dia, juga ada 4 orang lainnya yang harus terseret menjadi tersangka. Mereka adalah pihak penghubung(makelar) penjualan.
“Intinya kami meminta untuk 6 orang dijadikan tersangka. Yang pak Abdul Rahman sama PT Raksa itu jelas, karena unsurnya kan menggelapkan. Siapa yang menggelapkan, pak Abdul Rahman. Kemudian di jual ke PT Raksa. Siapa menghancurkan, apakah pak Hery, ya tidak. Jadi 6 harus jadi terdakwa. Cak sun atau 4 orang, PT Raksa dan Abdul Rahman,” katanya.
Di ketahui, sidang dugaan kasus korupsi penjualan barang sitaan Satpol PP Surabaya sebesar Rp500 juta, di gelar lagi oleh Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Jumat(25/11/2022) kemarin.
Agenda sidang mendengarkan nota pendapat atau tanggapan (Replik) dari Jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Surabaya Nur Rachmansyah atas nota pembelaan (Pleidoi) terdakwa Ferry Jocom.
Dalam repliknya, JPU Kejari Surabaya Nur Rachmansyah menyatakan menolak seluruh pleidoi yang di ajukan oleh terdakwa Ferry Jocom.
Jaksa tetap menuntut eks Kabid Ketentraman dan Ketertiban Umum (Trantibum) Satpol Surabaya itu, 5 tahun penjara.
“Kami selaku JPU menyatakan tetap pada tuntutan pidana kami sebagaimana telah kami bacakan dan di serahkan pada sidang sebelumnya,” kata JPU Nur Rachmansyah, saat membacakan Replik di ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya.
Dengan penolakan Pledoi itu, JPU menyerahkan putusan ke majelis hakim.
Kasubsi Penuntutan Kejari Surabaya ini, berharap majelis hakim menjatuhkan putusan seadil-adilnya.
“Selanjutnya kami serahkan sepenuhnya kepada majelis hakim dengan harapan dapat kiranya memberikan keputusan yang tepat dan seadil-adilnya,” jelasnya.
JPU Nur Rachmansyah mengatakan surat dakwaan maupun surat tuntutan sudah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
“Sesuai dengan fakta yang ada, jaksa penuntut umum telah menggambarkan dan membuktikan rangkaian perbuatan terdakwa,” pungkas JPU Nur Rachmansyah.
Pada pemberitaan sebelumnya, terdakwa Ferry Jocom lalu telah di tahan di Rutan Kelas 1 Surabaya Cabang Kejati Jatim.
Ia di sangkakan melanggar Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b Jo. Pasal 15 Jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah di ubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(r7)