Jakarta,(DOC) – Kekalahan dengan skor telak 0-6 dari Korea Utara U17 pada perempat final Piala Asia U17 2025 menjadi tamparan keras bagi Timnas U17 Indonesia. Meski berhasil menjuarai Grup C dan lolos ke Piala Dunia U17 di Qatar melalui jalur kualifikasi, hasil buruk pada fase gugur memperlihatkan adanya celah serius dalam pembinaan pemain muda di Tanah Air.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir menegaskan bahwa pertandingan di babak delapan besar memang penuh tekanan.
Tim-tim kuat seperti Jepang pun terhenti oleh Arab Saudi lewat drama adu penalti. Di sisi lain, munculnya Uzbekistan sebagai kekuatan baru menambah kompleksitas peta persaingan sepak bola usia muda Asia.
“Harus diakui babak delapan besar memang berat. Lihat bagaimana Jepang dikalahkan Arab Saudi melalui adu penalti. Lalu kemunculan kekuatan baru, seperti Uzbekistan yang konsisten permainannya, baik junior dan senior serta bisa mengalahkan kekuatan Asia lainnya,” kata Erick dikutip dari laman resmi PSSI, Selasa (15/4/2025).
“Model pembinaan berkelanjutan seperti itulah yang harus kita temukan agar bisa seperti Jepang, Korsel, dan kini Uzbekistan,” imbuhnya.
Timnas U17 mengawali turnamen dengan catatan gemilang. Anak asuh pelatih Nova Arianto memuncaki Grup C setelah mencatat tiga kemenangan beruntun.
Namun, performa meyakinkan itu seolah runtuh saat berjumpa Korea Utara di King Abdullah Sports City Hall Stadium, Jeddah.
Garuda Muda gagal mengembangkan permainan dan dihujani enam gol tanpa balas. Hasil ini menegaskan bahwa sepak bola Indonesia belum sepenuhnya siap bersaing di level atas Asia.
Pencapaian di babak grup memang patut diapresiasi, tetapi ketimpangan saat menghadapi tim dengan sistem pembinaan lebih matang menjadi catatan penting.
Menurut Erick, prestasi saat ini tak boleh membuat federasi puas. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan meloloskan diri ke Piala Dunia U17 tidak boleh mengaburkan kebutuhan akan pembinaan berkelanjutan dan terstruktur.
“Kita dihadapkan pada tantangan, bagaimana menyiapkan Timnas U17 mendatang yang sebagus Timnas U17 hari ini. Jadi pembinaan Garuda Muda harus kontinyu,” lanjutnya.
“Belum lagi ajang lain, seperti Olimpiade yang batasan usia harus di bawah 23 tahun dan kuota pesertanya berkurang dari 16 tim negara menjadi 12 tim. Artinya, kita harus bersiap lebih dini, lebih panjang, dan lebih ketat,” ucap Erick.
Ia juga menyebut bahwa menyiapkan Timnas U17 masa depan dengan kualitas setara atau lebih baik dari angkatan saat ini menjadi pekerjaan rumah yang tak ringan.
Federasi, akademi, klub, dan sekolah sepak bola dituntut bekerja lebih sinergis dan visioner agar pembinaan sepak bola terus berkembang. (rd)