
Surabaya, (DOC) – Presiden Donald Trump mengumumkan pada hari Rabu minggu lalu bahwa ia menangguhkan sementara kebijakan tarif besar-besaran yang baru saja di berlakukan seminggu sebelumnya. Melansir dari newyorker.com, keputusan ini di ambil setelah gejolak pasar yang menyebabkan kerugian besar dan kekhawatiran akan resesi global.
Tarif yang di sebut sebagai “Hari Pembebasan” itu awalnya di kenakan kepada hampir seluruh dunia. Bahkan wilayah Antartika pun terdampak, meskipun tidak ada perdagangan berarti. Kamboja, negara miskin yang jarang membeli produk AS, di kenakan bea hampir 50 persen. Langkah ini di nilai terburu-buru dan tidak masuk akal secara ekonomi.
Dampaknya langsung terasa. Pasar saham anjlok, menghapus nilai lebih dari 6 triliun dolar. CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, menyebut resesi sebagai “kemungkinan besar”. Investor mulai menjual obligasi pemerintah, memicu kekhawatiran bahwa pasar utang AS bisa kehilangan statusnya sebagai tempat paling aman di dunia.
Tekanan pun memuncak. Pada Rabu siang, Trump mengunggah pernyataan di Truth Social. Ia mengumumkan penundaan tarif selama 90 hari. Namun, bukan berarti ia mundur sepenuhnya. Tarif 10 persen tetap di berlakukan untuk sebagian besar negara. Lebih jauh lagi, ia menaikkan tarif terhadap China hingga mendekati 150 persen, sebuah eskalasi besar dalam konflik dagang.
Keputusan ini menciptakan gejolak baru. Pasar sempat pulih singkat pada hari Rabu, tetapi kembali turun keesokan harinya setelah para pelaku pasar mencerna dampak dari perang dagang dengan China.
Banyak analis menilai bahwa meskipun beberapa tarif di cabut, situasi sebenarnya justru memburuk. Menurut Jason Furman, mantan penasihat ekonomi Presiden Obama, tarif yang “di perlunak” ini masih jauh lebih tinggi dan lebih inflasioner di bandingkan dengan rencana awal.
Pertanyaannya kini, apa tujuan sebenarnya dari kebijakan ini?
Sebagian pengamat melihat motif ideologis di balik kebijakan Trump.
“Mereka ingin membentuk ulang Amerika. Tapi Anda tidak bisa membentuk ulang Amerika tanpa membentuk ulang dunia sekaligus,” ujar Viktor Shvets, analis global dari Macquarie Capital.
Pemerintahan Trump menurutnya kini d iisi oleh tokoh-tokoh dengan visi yang saling bertolak belakang. Ada Elon Musk, yang terang-terangan menyebut penasihat dagang Trump, Peter Navarro, “lebih bodoh dari karung batu.” Ada pula politisi konservatif seperti J.D. Vance. Meski tujuan mereka berbeda, mereka tampaknya sepakat dalam menolak tatanan dunia liberal dan ingin membangun kembali sistem global yang lebih tertutup.
Namun, kebijakan semacam ini menuntut stabilitas. Jika tujuannya adalah menarik kembali pabrik dan industri ke Amerika, maka dunia usaha butuh kepastian. Bukan iklim yang berubah setiap 90 hari.
Faktanya, banyak perusahaan Amerika tetap memilih bertahan di China. Sementara itu, China mulai bersiap. Lembaga pemerintah dan sektor swasta di negara itu membentuk “tim nasional” untuk menghadapi tarif. Mereka mengoordinasikan investasi dalam negeri guna menahan dampaknya.
Trump berharap bisa menggunakan ancaman tarif sebagai alat tawar. Namun risikonya tinggi. Satu studi memperkirakan, tarif baru ini akan membebani rata-rata rumah tangga Amerika sebesar 4.700 dolar per tahun.
Berbeda dengan politik, perang dagang bukan permainan menang-kalah. Kadang, semua pihak bisa rugi. (r6)