Surabaya, (DOC) – Kekhawatiran akan munculnya bumbung kosong dalam Pilkada Jatim 2024 semakin besar. Fenomena ini, seperti yang terjadi di Pilkada DKI, dapat mengganggu kualitas demokrasi di Indonesia. Pasalnya, bumbung kosong muncul melawan calon tunggal, terutama petahana, demokrasi yang adil dan seimbang bisa terganggu. Pemilihan pun di khawatirkan hanya menjadi formalitas politik yang memperkuat kekuasaan.
Dalam hal ini, media berperan penting untuk memastikan terciptanya pemimpin berkualitas. Media harus memberikan pemberitaan yang seimbang, sehingga menjadi pertimbangan bagi pemilih dalam Pilkada.
Hal ini di sampaikan Komisioner Dewan Pers, Yadi Hendriana, dalam Workshop Peliputan Pemilu dan Pilkada 2024 di Surabaya, Jumat (9/8/2024).
“Kenyataannya, 80 persen calon kepala daerah di daerah justru mengendalikan media,” ungkap Yadi, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers.
Kontrol tersebut terlihat dalam kepemilikan media dan pengaturan iklan di daerah. Media lokal masih bergantung pada iklan dari pemerintah.
Yadi menekankan bahwa pers tidak boleh terlibat dalam persaingan politik. Pers harus tetap netral dan tidak memihak pada kepentingan politik tertentu, sesuai dengan Undang-Undang Pers.
Menurutnya, tantangan bagi pers adalah tidak hanya menyajikan berita yang berimbang. Namun juga memiliki posisi tawar yang kuat untuk tetap netral dan bertanggung jawab.
Jatim Pemilih Terbesar Kedua Setelah Jabar
Yadi juga menekankan bahwa Jawa Timur adalah provinsi dengan jumlah pemilih terbesar kedua setelah Jawa Barat. Selain itu, Jatim memiliki partai politik yang paling heterogen dibanding provinsi lain.
“Oleh karena itu, pers di Jatim di tuntut untuk memberikan literasi kepada masyarakat demi terwujudnya demokrasi yang berkualitas,” ujarnya.
Demokrasi yang berkualitas ditandai oleh tiga indikator utama: kompetisi, partisipasi aktif masyarakat, dan kebebasan berekspresi pemilih.
“Pilkada yang sehat adalah yang menunjukkan kompetisi, partisipasi aktif, dan kebebasan berekspresi,” jelasnya.
Komisioner Dewan Pers, Totok Suryanto, menyatakan bahwa pers adalah jembatan antara proses politik dan masyarakat luas. Media tidak hanya berperan sebagai pelapor, tetapi juga sebagai pendidik.
“Di tengah derasnya informasi, pers harus mampu memberikan panduan objektif kepada masyarakat dalam memahami isu-isu Pilkada,” ujar Totok.
Tantangan ini semakin kompleks dengan adanya disinformasi, berita palsu (fake news), dan hoaks menjelang pemilu. Terutama, selama kampanye, di mana pengaduan ke Dewan Pers meningkat. Oleh karena itu, pers di harapkan menjadi garda terdepan dalam melawan informasi menyesatkan, dengan memperkuat etika jurnalistik dan komitmen terhadap kebenaran.
Praktisi pers Dwi Eko Lokononto menyoroti tantangan Pilkada serentak pada 27 November mendatang. Pilkada ini akan di gelar di 37 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Ini tantangan besar bagi lembaga survei, terutama yang berskala nasional.
“Banyak lembaga survei baru muncul, beberapa di antaranya dibayar oleh kandidat dan menjadi bagian dari tim sukses. Hal ini dapat menyebabkan bias dalam hasil survei. Oleh karena itu, penting bagi media untuk tidak menjadi ‘keranjang sampah’ bagi informasi yang tidak akurat. Media harus memahami metodologi survei agar dapat menyajikan data yang relevan dan objektif,” jelas Dwi.
Ia juga menambahkan bahwa fenomena bumbung kosong yang muncul dalam beberapa Pilkada tahun ini justru merugikan media. Potensi pendapatan dari iklan menjadi terbatas, sementara media membutuhkan dukungan finansial untuk keberlangsungan operasionalnya. (r6)