
Surabaya,(DOC) – Aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang(UU) TNI yang di gelar depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (24/3/2025), berakhir ricuh. Tak hanya demonstran, sejumlah jurnalis turut menjadi korban kekerasan dan intimidasi.
Salah satunya adalah Rama Indra, jurnalis media online Beritajatim.com, yang mengalami kekerasan fisik saat merekam jalannya aksi. Rama mengaku terkena pukul di bagian kepala, pelipis, dan bibir oleh beberapa oknum polisi ketika mendokumentasikan proses pembubaran massa di Jalan Pemuda.
“Saya sedang merekam polisi berseragam dan tidak berseragam yang menangkap dua orang demonstran. Tiba-tiba, tiga sampai empat polisi menghampiri saya, memaksa menghapus video, lalu memukul dan menyeret saya,” ungkap Rama.
Padahal saat kejadian, Rama telah mengenakan ID card pers dan menjelaskan dirinya adalah wartawan. Namun penjelasan tersebut tak mendapat respon. Handphone miliknya bahkan nyaris di rampas dan di banting. “Kepala saya di pukul beberapa kali. Ada yang menggunakan tangan kosong, ada juga yang pakai kayu,” tambahnya.
Beruntung, dua jurnalis dari Detik.com dan Kumparan.com segera datang membantu dan menyatakan kepada aparat bahwa Rama adalah wartawan. Keduanya memarahi petugas yang saat itu memiting Rama.
Akibat kejadian tersebut, Rama mengalami benjolan di kepala, luka baret di pelipis kanan, serta lecet di bibir bagian dalam sebelah kiri.
Jurnalis Lain Juga di Intimidasi
Insiden serupa juga di alami Wildan Pratama, jurnalis Suara Surabaya. Ia mendapat tekanan dari aparat saat memotret demonstran yang di amankan di area belakang pos Satpam Grahadi.
“Saya memotret massa aksi yang di amankan untuk mendata jumlahnya. Tapi seorang aparat berpakaian hijau meminta saya menghapus seluruh foto, bahkan sampai ke folder sampah,” tutur Wildan.
Menanggapi laporan kekerasan terhadap jurnalis, Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Rina Shanty memberikan bantahan singkat. “Enggak, enggak ada,” ujarnya saat di konfirmasi media.
Sementara itu, aksi yang di gelar oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya ini membawa enam tuntutan utama terkait penolakan terhadap revisi UU TNI.
Presiden BEM ITS, Jinan Elvaretta, menyampaikan bahwa pemerintah dan DPR harus mendengar suara publik. “Kami menolak perluasan kewenangan TNI di ranah sipil dan siber, serta mendesak pencopotan TNI aktif dari jabatan sipil. Supremasi sipil harus tetap menjadi prinsip utama dalam negara demokrasi,” tegas Jinan.(ang/r7)
Berikut enam tuntutan massa aksi:
- Mencabut dan membatalkan UU TNI serta mengkaji ulang berdasarkan prinsip good governance
- Menolak perluasan wewenang TNI di ranah sipil dan siber
- Mendesak pencopotan TNI aktif dari jabatan sipil
- Menuntut proses perancangan undang-undang dilakukan secara transparan dan partisipatif
- Mempercepat pengesahan UU Perampasan Aset
- Menempatkan supremasi sipil sebagai prinsip utama dalam demokrasi