D-ONENEWS.COM

Kontroversi Sengketa Tanah 3,1 Hektar di Labuan Bajo, Warga Lawan Pengusaha dan Oknum BPN

Kontroversi Sengketa Tanah 3,1 Hektar di Labuan Bajo, Warga Lawan Pengusaha dan Oknum BPNManggarai Barat,(DOC) – Sengketa kepemilikan tanah di Labuan Bajo terus memanas. Tujuh warga pemilik sah lahan seluas 3,1 hektar menghadapi dugaan perampasan tanah oleh pengusaha Santosa Kadiman, pemilik Hotel St. Regis, serta oknum BPN Manggarai Barat.

Tanah itu mereka peroleh secara resmi sejak 1992 dari H. Ishaka, fungsionaris adat Nggorang, lengkap dengan surat alas hak asli. Selama puluhan tahun, tujuh warga ini menggarap tanah tanpa masalah. Namun, situasi berubah ketika Hotel St. Regis memulai pembangunan pada 2022.

Ternyata, pada Januari 2014, terjadi transaksi jual beli lahan seluas 40 hektar antara Niko Naput dan Santosa Kadiman. Lahan itu mencakup 3,1 hektar milik warga. Transaksi berlangsung di hadapan Notaris Bily Ginta. Sejak itu, warga terjebak dalam konflik tumpang tindih kepemilikan.

Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya bersama tim kuasa hukum menyebutkan banyak fakta mencengangkan terkait mafia tanah ini. Usai peletakan batu pertama Hotel St. Regis pada April 2022, area 3,1 hektar berubah jadi basecamp dan gudang alat berat tanpa persetujuan warga.

Bukti Lemah dan Dokumen Tak Otentik Terungkap

Klaim 40 hektar yang di ajukan Niko Naput di nilai tidak kuat secara hukum, terutama setelah perkara perdata terkait lahan 11 hektar milik ahli waris Ibrahim Hanta di menangkan oleh warga. Bukti surat alas hak asli milik Niko Naput juga tidak di temukan, hanya fotokopi yang beredar.

Satgas Mafia Tanah Kejagung menemukan indikasi surat alas hak tersebut palsu. Di sisi lain, pada 2017 BPN Manggarai Barat menerbitkan sertifikat dan gambar ukur atas nama keluarga Niko Naput, tanpa bukti sah. Hal ini memperkuat dugaan rekayasa administratif di tubuh BPN.

Haji Ramang Ishaka, yang dulu fungsionaris adat, di duga ikut memanipulasi proses pengukuhan tanah untuk kepentingan keluarga Niko Naput. Kesaksian tokoh adat setempat menyebutkan bahwa Ramang menyalahgunakan kewenangan adat, menyebabkan tumpang tindih lahan.

Para pemilik sah lahan bertekad memperjuangkan hak mereka secara hukum. Mereka berencana memasang plang, membangun pondok, dan kembali menggarap tanah untuk bertani. Tim kuasa hukum mereka, dipimpin Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, akan mengupayakan jalur pidana, perdata, dan PTUN.

Sengketa tanah di Labuan Bajo ini menyoroti praktik mafia tanah yang merugikan rakyat kecil. Kasus ini juga membuka tabir kolusi dan maladministrasi di lembaga pertanahan setempat. Warga berharap keadilan ditegakkan dan tanah mereka kembali.(sai/r7)