Surabaya,(DOC) – Ekstrakurikuler basket para siswa antar SMA di salah satu sekolah negeri di Surabaya berakhir tawuran.
Insiden ini di ketahui setelah salah satu siswa (EI) yang menjadi korban melapor ke Polrestabes Surabaya, Senin(1/8/2022). Dalam laporannya, EI mengaku mendapat kekerasan fisik yang di duga di lakukan oleh sekelompok oknum dan alumni siswa salah satu SMA Negeri di Surabaya.
Motif pengroyokan ini di tengarai akibat salah satu pihak tak terima dengan hasil pertandingan basket antar sekolah.
Kasus para siswa SMA tersebut, mendapatkan perhatian Wakil Ketua DPRD kota Surabaya, AH Thony, yang sangat menyayangkan insiden itu terjadi.
“Kami sebagai DPRD Surabaya mempertanyakan. Bagaimana pembinaan yang di lakukan oleh Pemerintah Provinsi atas penyelenggaraan kegiatan di tingkat SMA/SMK sederajat itu,” ungkap Thony melalui sambungan Whatsapp, Senin (1/8/2022).
Ia menyatakan, problematika pengroyokan ini merupakan yang kesekian-kalinya terjadi. Setelah adanya kendala siswa MBR saat mengenyam pendidikan di bangku SMA sederajat.
“Padahal sebelumnya itu kan ada masalah siswa MBR tingkat SMA. Mulai saat masuk sekolah, bayar SPP hingga nebus ijazah. Kemudian, di hadapkan lagi dengan praktek jual beli kursi ketika masuk PPDB kemarin,” ujarnya.
Menurutnya, seluruh perangkat pemerintahan, termasuk Forkopimda Provinsi dan Kota juga selalu membahas bagaimana ketertiban bisa berlangsung di Surabaya. Tapi, lanjutnya, untuk lingkup SMA/SMK sendiri tidak ada naungan yang baik untuk siswa.
“Tidak ada naungan yang baik, sehingga kegiatan lomba olahraga berujung pada pengroyokan,” kata Thony.
Ia meminta pada aparat penegak hukum, untuk menangani kasus ini dengan sangat serius. Selain itu, Thony juga berpinta pada provinsi untuk lebih serius dalam pengawalan kegiatan.
“Jangan sampai provinsi lepas tangan. Kalau sudah ada kejadian begini kan mencoreng dunia pendidikan. Bahkan, kejadian ini berpotensi menanamkan kebencian yang nantinya bisa menjadi sebuah tradisi yang tidak di harapkan,” papar Politisi Gerindra Surabaya ini.
Thony juga menilai bahwa pihak Provinsi sendiri kurang sepenuh hati dalam kepengurusan pendidikan, sehingga banyak momen yang terlewatkan. Idealnya, kegiatan olahraga di Surabaya menjadi ajang persahabatan yang dapat meningkatkan hubungan antar sekolah.
“Ini kami melihat ada indikasi pembiaran. Ada kesan ketidak-seriusan dan tidak ada pengawasan sehingga siswa berjalan sendiri-sendiri. Ketika ada persoalan kecil, kalau kayak gini, kan jadi besar,” urainya.
Dia menuturkan, bila hal ini terus menerus terjadi maka Surabaya bisa saja di anggap sebagai kota yang bar-bar untuk para siswanya. Padahal, lanjutnya, sewaktu SMA/SMK sederajat di kelola oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, sangat minim kejadian kekerasan di kalangan pelajar.
“Kita bukan bermaksud apa-apa. Tapi kita bisa bandingkan bahwa siswa SMA/K saat di pegang oleh Kota itu hampir tidak ada kejadian (pengroyokan) itu. Kalau memang provinsi tidak bisa, ya bilang saja ke pemerintah pusat,” tutur Thony.
Selain itu, dengan adanya kejadian ini, Thony menjelaskan bahwa pemerintah pusat dapat mengambil langkah evaluasi. Hal ini dapat menjadi pertimbangan selain Kota Surabaya. Supaya SMA/SMK sederajat bisa di kelola lagi oleh Kabupaten/Kota masing-masing apabila mampu.
“Jadi kalau memang kabupaten atau kota mampu untuk mengelola SMA/SMK, ya lepaskan saja. Kalau tingkat daerah menyatakan tidak mampu, baru Provinsi berikan intervensi,” pungkas Thony.(robby/r7)