D-ONENEWS.COM

Dampak COVID-19 Terhadap Kesehatan Mental Anak Rendah, Unicef: Hanya ‘Puncak Gunung Es’

sumber: UNICEF
Analisis baru mengindikasikan hilangnya kontribusi ekonomi akibat gangguan mental di kalangan anak muda diperkirakan setara dengan hampir $390 miliar per tahun

Jakarta,(DOC) – Dalam laporan utama yang diterbitkan hari ini, UNICEF memperingatkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi mengalami dampak jangka panjang dari COVID-19 terhadap kesehatan mental mereka. Laporan tersebut berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children’s mental health.

Berdasarkan data terbaru, diperkirakan terdapat lebih dari 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun di dunia yang hidup dengan diagnosis gangguan mental. Setiap tahun, tindakan bunuh diri merenggut nyawa hampir 46.000 anak muda.

Tindakan ini adalah satu dari lima penyebab utama kematian pada kelompok usia itu. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan besar antara kebutuhan untuk mengatasi masalah kesehatan mental dengan pendanaan yang tersedia. Laporan tersebut menemukan bahwa, secara global, anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental hanya mencapai 2 persen.

“Waktu 18 bulan terakhir terasa sangat, amat berat bagi kita dan terutama bagi anak-anak. Peraturan karantina nasional dan pembatasan mobilitas karena pandemi menyebabkan anak-anak harus menghabiskan waktu-waktu yang berharga dalam kehidupan mereka terpisah dari keluarga, teman, sekolah, dan kesempatan bermain. Padahal, semua hal ini penting bagi masa kanak-kanak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore lewat rilis tertulisnya yang dikirim ke redaksi, Selasa(5/10/2921).

Menurut dia, dampaknya besar dan yang tampak hanyalah puncak dari gunung es. Sebelum pandemi sekalipun, telah ada begitu banyak anak terbebani masalah kesehatan mental yang tidak memiliki jalan keluar.

“Investasi yang dikerahkan oleh pemerintah-pemerintah dunia untuk kebutuhan di bidang ini terlalu sedikit. Belum banyak yang mengaitkan pentingnya kesehatan mental yang baik dengan kualitas masa depan seseorang,” tambahnya.

Kesehatan mental anak-anak selama COVID-19

Tak dapat dipungkiri, pandemi telah berdampak sangat besar. Menurut temuan awal dari survei internasional terhadap anak-anak dan orang dewasa di 21 negara yang dilaksanakan oleh UNICEF dan Gallup, hasilnya disajikan sekilas di dalam laporan The State of the World’s Children 2021, yaitu terdapat median 1 dari 5 anak muda usia 15-24 tahun yang di dalam survei yang menyatakan mereka sering merasa depresi atau rendah minatnya untuk berkegiatan.

Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19, dampak pandemi terhadap kesehatan dan kesejahteraan mental anak-anak dan orang muda terus memburuk. Data terkini dari UNICEF menunjukkan bahwa, secara global, setidaknya 1 dari 7 anak mengalami dampak langsung karantina, sementara 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar. Gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, serta kecemasan seputar keuangan keluarga dan kesehatan membuat banyak anak muda merasa takut, marah, sekaligus khawatir akan masa depan mereka. Contohnya adalah hasil dari survei daring di Tiongkok pada awal tahun 2020 yang dikutip di dalam The State of the World’s Children, yang mengindikasikan bahwa sekitar sepertiga responden merasa takut atau cemas.

Dampak terhadap masyarakat

Diagnosis gangguan mental, seperti ADHD, kecemasan, autisme, bipolar, gangguan perilaku, depresi, gangguan makan, disabilitas intelektual, dan skizofrenia dapat menimbulkan kerugian signifikan terhadap kesehatan, pendidikan, masa depan, dan kemampuan meraih pendapatan dari anak-anak dan orang muda.

Meskipun dampak gangguan mental terhadap kehidupan seorang anak tidak mungkin dihitung, analisis baru London School of Economics yang disajikan laporan tersebut mengindikasikan bahwa hilangnya kontribusi akibat gangguan mental yang menyebabkan disabilitas atau kematian di kalangan anak muda diperkirakan bernilai hampir $390 miliar per tahun.

Faktor positif

Laporan di atas juga menyebutkan serangkaian faktor, seperti genetika, pengalaman hidup, dan lingkungan sejak dini, termasuk pola asuh, pendidikan, kualitas hubungan interpersonal, paparan terhadap kekerasan atau penganiayaan, diskriminasi, kemiskinan, krisis kemanusiaan, dan kondisi darurat kesehatan seperti pandemi COVID-19, yang turut membentuk dan memengaruhi kesehatan mental anak untuk sepanjang hidupnya.

Sementara itu, ada pula faktor-faktor yang berpengaruh positif seperti lingkungan pengasuhan yang penuh kasih sayang, sekolah yang aman, dan interaksi positif dengan teman sebaya. Semua ini dapat menurunkan risiko terjadinya gangguan mental, akan tetapi laporan juga memeringatkan tentang beberapa hambatan penting, termasuk stigma dan kurangnya pendanaan, yang membuat anak-anak tidak mengalami kesehatan mental yang positif ataupun mengakses dukungan yang dibutuhkan.

The State of the World’s Children 2021 menyerukan semua pemerintah serta sektor publik dan swasta untuk berkomitmen, menyosialisasikan, dan bertindak untuk mewujudkan kesehatan mental bagi semua anak, remaja, dan pengasuh mereka, untuk melindungi kelompok yang membutuhkan bantuan, dan merawat kelompok paling rentan, termasuk melakukan sebagai berikut :

  • Segera berinvestasi untuk kesehatan mental anak dan remaja di semua sektor, tidak terbatas pada kesehatan, dalam rangka mendukung pendekatan masyarakat yang holistik dalam pencegahan, promosi, dan perawatan.
  • Mengintegrasikan dan memperluas skala intervensi berbasis bukti di sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial, termasuk program pengasuhan yang mengedepankan pola asuh berlandaskan kasih sayang dan dukungan untuk kesehatan mental orang tua serta pengasuh itu sendiri; di samping itu, perlu dipastikan agar sekolah turut mendukung kesehatan mental siswa melalui layanan berkualitas dan interaksi yang positif.
  • Bersuara untuk gangguan kesehatan mental melalui upaya mengatasi stigma dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang kesehatan mental, serta menanggapi pengalaman anak-anak dan orang muda secara serius.

“Kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan fisik, dan kita tidak bisa mempertahankan pandangan yang memisahkan keduanya,” kata Fore.

“Baik di negara kaya maupun miskin, pemahaman yang terlalu sempit dan investasi yang terlalu sedikit untuk kesehatan mental sebagai hal penting agar setiap anak bisa memaksimalkan potensinya sudah berlangsung terlalu lama. Keadaan ini harus berubah,” pungkasnya.(r7)

Berikut sejumlah temuan data tentang anak muda di Indonesia yang tercakup dalam laporan State of the World Children: 
  • Hampir satu dari tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu, menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF dan Gallup di 21 negara pada paruh pertama tahun 2021.
  • Penelitian terbaru menunjukkan bahwa program bantuan tunai bersyarat telah mengurangi angka bunuh diri sebesar 18 persen di Indonesia.
  • Perkiraan tentang penyebab kematian di kalangan anak mudah diperkirakan berdasarkan data Global Health Estimates 2019 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Perkiraan prevalensi orang yang didiagnosis gangguan mental adalah berdasarkan studi Global Burden of Disease tahun 2019 yang dilakukan oleh Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME).
  • Temuan survei tentang perasaan depresi atau rendahnya minat untuk berkegiatan adalah bagian dari studi lebih besar yang dilakukan UNICEF bersama dengan Gallup dengan tujuan mengetahui perbedaan antargenerasi. Changing Childhood Project mewawancarai sekitar 20.000 responden di 21 negara via telepon. Semua sampel diambil berdasarkan metode probabilitas dan representatif pada tingkat nasional untuk dua populasi berbeda di setiap negara, yaitu kelompok usia 15-24 tahun dan usia 40 tahun ke atas. Cakupan area sampel adalah seluruh negara, termasuk kawasan perdesaan, dan kerangka pengambilan sampel merepresentasikan seluruh populasi sipil yang tidak sedang menjalani perawatan di lembaga tertentu serta punya akses ke telepon dari masing-masing kelompok usia. Temuan penuh dari proyek ini akan dipublikasikan oleh UNICEF pada bulan November.
Loading...

baca juga