D-ONENEWS.COM

Surabaya Smart City, Perlu Perda Pengelolaan Jaringan Digital

Surabaya smartcitySurabaya,(DOC) – Tersisihkannya Kota Surabaya dalam daftar smart city versi IMD Smart City Index (SCI) harus menjadi pukulan berat bagi pemerintah kota (Pemkot). Pasalnya tak masuknya Surabaya menjadi salah smart city menunjukkan ada sesuatu yang salah dengan Kota Pahlawan ini.

“Kami yang ada di pemerintahan menganggap ada variabel peran serta masyarakat yang kurang dalam parameter smart city. Seharusnya smart city memberikan ruang kepada masyarakat agar lebih berdaya,” ungkap AH. Thony Wakil Ketua DPRD Surabaya dalam talkshow yang di selenggarakan Ngopibareng.id.

Senada dengan AH Thony, Pengamat Tata Kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Putu Rudy yang juga menjadi pembicara talkshow, menyebut jika penilaian smart city versi IMD itu berdasarkan pengalaman warga. Bukan berdasarkan pemerintah sebagai pemberi layanan. Misalnya saja, layanan kependudukan bisa di lakukan secara online, tapi seberapa jauh warga sudah menggunakan ini.

“Warga tahu ada layanan kependudukan online. Tapi mereka tak menggunakan karena tak reliable atau warga tak affordable (mampu) menggunakan karena internetnya mahal. Itu sudah memberikan penilaian buruk bagi IMD,” kata Putu.

“Jadi Pak Walikota harusnya tak bilang, biar saja, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik. Ini menunjukkan Pak Wali tak tahu mengukur layanan kepada warganya,” ujar Putu.

Tak heran jika kemudian di mall layanan publik Surabaya orang masih berjubel untuk minta layanan administrasi. Dan ini malah menimbulkan in-efisiensi.

Kata Putu, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya harus mulai menyediakan zona-zona internet gratis untuk warganya untuk mengakses layanan administrasi Pemerintah Kota Surabaya.

“Pemerintah Kota harusnya mengaku jika ternyata layanan ini belum begitu efektif karena belum di konsumsi optimal oleh warganya,” ujar Putu.

Pembicara lain, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Riant Nugroho menyebut kebijakan publik yang baik adalah bukan bagaimana menghebatkan pemerintah, tapi bagaimana warganya menjadi hebat.

“Kalau orientasinya menghebatkan pemerintah, maka itu seperti pemerintah feodal,” ujar Riant Nugroho.

Salah satu manifestasi “menghebatkan” pemerintah bisa di lihat dari pemerintah daerah yang berlomba untuk mendongkrak Pendapatan Asli (PAD).

“Sebesar-besarnya mencari pendapatan untuk pemerintah. Padahal di Jepang pemerintah daerah sedang berlomba-lomba menurunkan pajak untuk menarik investasi,” ujarnya.

Jadi, kata Riant, besarnya PAD seharusnya tak menjadi salah satu patokan sebuah pemerintah daerah itu sukses.

Orientasi bagaimana harus membesarkan PAD ini ternyata juga di lakukan oleh Pemerintah Surabaya. Pemerintah Surabaya punya aturan Perwali Nomor 80 Tahun 2016 tentang Pemanfaatan Barang Milik Daerah. Dalam perwali ini mewajibkan para operator untuk membayar sewa kalau menanam dalam tanah kabel fiber optik. Padahal soal harus menyewa jalan untuk menanam kabel fiber optik ini tak dasar hukumnya selain Perda itu sendiri.

“Ini yang memberatkan teman-teman pengusaha jasa telekomunikasi di Surabaya untuk menyediakan internet gratis di tempat-tempat publik, seperti sekolah, rumah sakit atau halte-halte,” kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Jerry Siregar.

Kata Jerry untuk menjadikan Surabaya sebagai smart city, bukan hanya dari pemerintahannya saja. Tapi juga harus di bangun dari warganya yang mempunya smart thinking.

Senada Fajar Aditya Ikhsan, Wakil Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) juga menyebut Perwali Nomor 80 Tahun 2016, ada kerancuan antara sewa dan retribusi. Menurutnya kalau sewa maka akan muncul hak dan kewajiban dalamnya. Kalau menurut hukum perdata, barang yang sudah disewakan maka tak bisa disewakan kembali kepada pihak lain.

“Misalnya ada operator A yang sudah menyewa di satu jalan, menjadi pertanyaan mengapa ada operator B yang menyewa juga di jalan yang sama,” ujarnya.

Dari diskusi ini, para narasumber sependapat perlu ada perda baru yaitu “Perda Pengelolaan Jaringan Digital”.(r7)

Surabaya Tidak Masuk Smart City, Benarkah Masyarakat dirugikan?

Tak masuknya Kota Surabaya menjadi smart city versi IMD Smart City Index (SCI) seharusnya menjadi pukulan berat bagi Pemerintah Kota (Pemkot). Pasalnya, tidak masuknya Surabaya menjadi salah satu smart city menunjukkan adanya permasalahan dengan Kota Surabaya saat ini.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, AH Thony menilai, tidak terpilihnya Kota Surabaya menjadi smart city karena masih belum adanya Pemerintahan memberikan peran pada masyarakat agar lebih berdaya.

“Kami yang ada di pemerintah kota menganggap ada variabel peran serta masyarakat yang kurang diperhatikan dalam parameter smart city. Seharusnya smart city memberikan ruang kepada masyarakat agar lebih berdaya,” kata AH. Thony.

Senada dengan AH Thony, Pengamat Tata Kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Putu Rudy yang juga menjadi pembicara talkshow, menyebut jika penilaian smart city versi IMD itu berdasarkan pengalaman warga. Bukan berdasarkan pemerintah kota sebagai pemberi layanan. Seperti misalnya saja, layanan kependudukan bisa dilakukan secara online, tapi seberapa jauh warga sudah dapat menggunakan layanan public berbasis ini.

“Warga mengetahui terdapat layanan kependudukan online. Tetapi mereka tidak menggunakannya karena layanan tersebut tidak reliable atau warga tidak affordable (mampu) menggunakan karena internet mahal. Itu sudah memberikan penilaian buruk bagi IMD,” kata Putu.

“Jadi Pak Walikota harusnya tidak bilang, ah biar saja, yang penting saya sudah melakukan yang terbaik. Ini menunjukkan Pak Wali tidak tahu mengukur layanan yang optimal kepada warganya,” imbuh Putu.

Tidak heran jika kemudian di mall layanan publik di Surabaya orang masih berjubel untuk minta layanan administrasi yang malah menimbulkan inefisiensi.

Kata Putu, seharusnya Pemerintah kota Kota Surabaya harus mulai menyediakan zona-zona internet gratis untuk warganya agar dapat mengakses layanan administrasi Pemerintah kota Kota Surabaya.

“Pemerintah kota Kota harusnya mengaku jika ternyata layanan ini belum begitu efektif karena belum dikonsumsi optimal oleh warganya,” ungkap Putu.

Pembicara lain, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Riant Nugroho menyebut kebijakan publik yang baik adalah bukan bagaimana menghebatkan pemerintah kota, tapi bagaimana warganya menjadi hebat.

“Kalau orientasinya menghebatkan pemerintah kota, maka itu seperti pemerintah kota feodal,” ujar Riant Nugroho.

Salah satu manifestasi “menghebatkan” pemerintah kota bisa dilihat dari pemerintah kota daerah yang berlomba untuk mendongkrak Pendapatan Asli.

“Sebesar-besarnya mencari pendapatan untuk pemerintah kota. Padahal di Jepang pemerintahannya sedang berlomba-lomba menurunkan pajak untuk menarik investasi,” ujarnya.

Jadi, kata Riant, besarnya PAD seharusnya tidak menjadi salah satu patokan sebuah pemerintah kota daerah itu sukses.

Orientasi bagaimana harus membesarkan PAD ini ternyata juga dilakukan oleh Pemerintah kota Surabaya melalui Perda 5 tahun 2017 tentang penyelenggaraan jaringan utilitas dan Perwali 1 Tahun 2022 tentang Formula Tarif Sewa BMD Berupa Tanah dan/atau Bangunan .

Dalam perwali ini mewajibkan para penyelenggara jaringan untuk membayar sewa yang tinggi dalam membangun infrastruktur digital. Pengenaan sewa yang mahal ini sudah tidak sejalan dengan marwah Perda tersebut yang seharusnya adalah membangunkan infrastruktur pasif yang dapat digunakan bersama bukan hanya sekedar mengenakan sewa tanah.

“Ini yang memberatkan teman-teman penyelenggara jaringan telekomunikasi di Surabaya untuk menyediakan internet gratis di tempat-tempat publik, seperti sekolah, rumah sakit atau halte-halte,” kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Jerry Siregar.

Kata Jerry untuk menjadikan Surabaya sebagai smart city, bukan hanya dari pemerintah kotannya saja. Tapi juga harus dibangun dari warganya agar memiliki smart thinking.

Selain itu perwakilan Wakil Ketua Bidang Teletopic Masyarakat Telematika (Mastel) juga menyebutkan terdapat disharmonisasi terhadap pembentukan regulasi pungutan. “Pengaturan pungutan itu menurut UUD 1945 harus diatur berdasarkan UU, jadi apabila terdapat Perda atau Perwali yang membuat adanya kewajiban pungutan baru seperti membayar sewa tanpa ada dasar Undang – Undang di acu maka Perda atau Perwali tersebut perlu ditinjau kembali”. Selain itu, masih terdapat kerancuan pemahaman mana yang disebut Retribusi dan mana sewa” ujarnya.

Menurutnya, lanjut Jerry, penyelenggara jaringan itu tidak anti bayar, asalkan terdapat dasar yang jelas. Beda halnya jika Pemkot Surabaya membangunakan SJUT untuk meletakkan kabel fiber optik yang kemudian dikenakan tarif pemanfaatan, “Penyelenggara jaringan akan dengan senang hati masuk dan memberikan kontribusi”

Dari diskusi ini, Wakil ketua DPRD Surabaya dan para narasumber sependapat bahwa ini dikarenakan kebijakan kebijakan Pemkot yang sudah ada sebelumnya dan masih berlaku hingga saat ini membuat berbagai macam kerancuan dan hambatan dalam membangun infrastruktur digital, maka perlu dibuat perda baru yang menjadi landasan dalam tata Kelola pembangunan infrastruktur yaitu “Perda Tata Kelola Infrastruktur Digital”.(r7)

Loading...

baca juga