D-ONENEWS.COM

Ironis, Ribuan Warga Metropolis Tak Miliki Jamban Layak

jambangSurabaya,(DOC) – Surabaya green tapi belum clean. Komentar ini dialamatkan Kepala Pusat Penelitian Lingkungan, Permukiman, dan Infrastruktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Agus Slamet, kemarin (12/4/2016).
Menurutnya, kendati Surabaya menyandang predikat  kota metropolis dan merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur, namun banyak warganya yang belum memiliki jamban layak. Tidak tanggung-tanggung, sebagaimana data yang dimiliki ITS dan dipaparkan Agus, terdapat 16.000 warga Surabaya yang belum memiliki jamban sebagaimana mestinya.
“Surabaya kota metropolis tapi masih tertinggal karena tidak ada pengelolaan air secara utuh. Green tapi belum clean. Saluran sanitasi yang ada tercemar limbah domestik. Ada 16.000 KK (kepala keluarga) tidak memiliki jamban layak. Punya toilet, tapi saluran buang masuk ke drainase,” papar Agus Slamet saat Silahturahmi Rembugan Mbangun Surabaya Sing Apik bersama elemen masyarakat, yakni Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR), di ruang rapat gedung rektorat ITS, kemarin. Hadir dalam acara itu, Rektor ITS Prof. Joni Hermana.
Menurut dia, masalah lain di Surabaya adalah keberadaan pemukiman kumuh, yang pastinya tidak didukung saluran sanitasi.
Rektor ITS Prof. Joni Hermana yang juga pakar sanitasi menyebut Surabaya bukanlah metropolis, melainkan kampung besar lengkap dengan dinamikanya. Untuk mengatasi problem kota, Pemkot Surabaya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus menggandeng partisipasi masyarakat. “Surabaya dibangun dengan partisipasi masyarakat,” sebut Joni yang mengapresiasi elemen masyarakat, seperti halnya Komunitas Peduli Surabaya RAR.
Joni berpendapat, Surabaya berpotensi menjadi kota metropolis (sebenarnya). Keberadaan hotel baru disebutnya sebagai indikator sekaligus bukti Surabaya luar biasa. Keberadaan Surabaya belum didukung sarana sanitasi, termasuk Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal. Terutama di pemukiman.
“Di Kejawan Keputih dan Bulak, PT PJB (Pembangkit Jawa Bali, anak perusahaan PT PLN) pernah hendak membangun IPAL komunal, tapi terkendala pembebasan lahan. Padahal Surabaya dibangun dengan partisipasi masyarakat,” tukas pria asal Bandung Jawa Barat ini.
Belum adanya IPAL komunal, kata Joni Hermana, membuat Surabaya tertinggal jauh dengan Bandung, Solo, Yogyakarta, semarang dan Medan. Kota-kota besar itu sudah memiliki IPAL komunal, sedangkan Surabaya belum.
Keberadaan IPAL komunal, menurut Joni, penting karena sanitasi yang bersih membuat Surabaya lebih nyaman. Bukan Cuma saluran air yang bersih, namun juga tidak ada nyamuk. Terlebih sanitasi yang ada tertutup dan tersambung dengan IPAL komunal.
Aktivis lingkungan sekaligus ketua Divisi Advokasi Komunitas Peduli Surabaya RAR, Hermawan Some menambahkan, selama ini banyak warga membuang limbah domestik melalui saluran yang berhubungan dengan sanitasi di pemukiman, yang larinya ke sungai. “Ada survei, tiap warga membuang 5 gram detergen. Ini yang menyebabkan air sungai berbuih, berbusa. Kami mendorong pemkot membangun IPAL komunal dengan skala kecil.  IPAL komunal ini bisa dibawah jalan kampung. Air limbah bisa diolah, dipompa dan untuk siram tanaman. Biaya pembuatan IPAL bisa dari CSR (corporate social responsibility) perusahaan. Kadin (Kamar Dagang dan Industri) saya rasa bisa mencarikan,” sebutnya.
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD Surabaya, Moch Machmud yang juga masuk dalam RAR menambahkan, pihaknya kini membahas keberadaan raperda pengolahan limbah. “Ada banyak raperda yang masuk pembahasan Banleg. Ada Raperda Kelas Jalan dan Konstruksi Jalan, Pembangunan Perumahan Berimbang, dan lainnya,” sebut Machmud yang mantan ketua DPRD Surabaya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surabaya, Jamhadi, pihaknya bersama elemen masyarakat akan membantu mewujudkan Surabaya sebagai kota kelas dunia. “Dosa besar jika kita semua tidak member masukan ke pemkot. Pemkot tidak bisa berdiri sendiri dalam membangun Surabaya. Istilah Gerbang Kertasusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan) harus kembali diterapkan,” kata Jamhadi pada forum penuh rasa kekeluargaan itu.
Kepala Laboratorium Transportasi Jurusan Teknik Sipil ITS, Hera Widyastuti setuju jika Surabaya sebagai ibu kota provinsi tidak bisa berdiri sendiri. “Sebagai center (Surabaya) tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. “Soal mass transportation, Suro Train, terjadi gesekan kota dan provinsi. Soal trem kenapa (titik) terakhir di Joyoboyo? Ini karena Jalan Ahmad Yani bukan milik kota (Surabaya). Provinsi juga harus membuat konektivitas menuju Surabaya,” Hera menanggapi soal pentingnya transportasi massal, yang menghubungkan antarwilayah. Terutama Gerbang Kertasusila.(rar/r7)

Loading...