D-ONENEWS.COM

Begini Tanggapan Sejumlah Politisi Surabaya Soal Wali Kota Risma Sujud dan Menangis

Surabaya,(DOC) – Viralnya video soal Walikota Surabaya, Tri Rismaharini duduk sujud dan menangis di depan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Jatim, menuai reaksi keras dari sejumlah politisi.

Foto: Arif Fathoni

Ketua Fraksi Golkar DPRD kota Surabaya, Arif Fathoni menyatakan, sujud yang dilakukan  oleh Wali Kota Risma di hadapan IDI itu sah-sah saja. Namun masalahnya yang dibutuhkan masyarakat sekarang ini bukanlah itu.

“Sujudnya Bu Risma itu hak beliau dan dari sisi kemanusian sah-sah saja. Tapi yang dibutuhkan masyarakat sekarang ini bukan seberapa keras seorang kepala daerah menangis atau memarahi anak buahnya. Namun bagaimana penanganan Covid-ini berjalan maksimal,” kata Toni sapaan akrabnya.

Begitu juga dengan penggunaan anggaran percepatan penanganan Covid-19 yang juga dinilai belum maksimal. Menurut Toni, dari total anggaran Covid-19 di Surabaya sebesar Rp 208 milliar, baru terserap 30 milliar.

“Ini butuh kebijakan yang keras dari seorang kepala daerah untuk menyerap anggaran dalam memutus mata rantai pensebaran Covid-19. Mengingat angka kasus positif tiap harinya naik. Salah satu contoh, pembentukan Kampung Tangguh, itu sangat bagus. Cuman harus ditunjang dengan anggaran dari Pemerintah kota. Sekarang kasihan warganya yang harus menanggungnya,” urainya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Mahfudz, Wakil Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD kota Surabaya. “Jika memang bantuan Pemkot ditolak oleh rumah sakit dokter Soetomo ya tak apalah, mungkin belum membutuhkan. Tapi ya jangan sampai nangis-nangis dan sujud dihadapannya. Menurut saya kurang baiklah,” kata Mahfudz.

Foto: Sekreetaris Komisi B DPRD Surabaya

Sekretaris Komisi B DPRD kota Surabaya ini mengamati, persoalan yang terjadi sekarang ini, hanyalah kurangnya komunikasi antara Wali Kota Surabaya dengan Gubernur Jawa Timur.

“Sebenarnya hanya komunikasi saja antara Bu Risma(Wali Kota,red) dan Bu Khofifah (Gubernur,red) seperti apa lah. Kan selama ini, komunikasinya hanya lewat media. Kata ini begini, kata ini begini. Cobalah ketemu, ngobrol, tidak usah ada media-lah. Ngobrol dari hati ke hati untuk rakyat Surabaya, Untuk rakyat Jawa Timur,” tandasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPW Partai NasDem Jatim Bidang Media dan Komunikasi Publik, Vinsensius Awey, mengaku tidak habis pikir dengan sikap Wali Kota Risma yang terkadang mudah meledak, mudah nangis dan mudah bersujud. Menurut Awey, pemandangan seperti ini bukanlah hal baru.

“Bersujud yang tertangkap oleh kamera sudah 2 hingga 3 kali sepertinya, yang nangis juga sudah berkali-kali, dan apalagi yang marah lebih banyak lagi,” katan mantan anggota DPRD kota Surabaya periode 2014 ini.

Ia mengamati, bahwa fakta yang dikatakan oleh IDI dengan yang diamini oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berkunjung ke Surabaya, kurang lebih sama, yaitu terkait kesadaran dan kepatuhan warga kota Surabaya mengikuti protokol mitigasi kesehatan seperti pemakaian masker yang masih kurang.

“Dan saat itu bu Walikota juga menanggapi pernyataan Presiden dengan nada sedikit membantah terkait jumlah prosentase yang dipaparkan. Nah kenapa respon kepada IDI dengan Bapak Presiden berbeda,” kata Awey.

foto : Vinsensius Awey

Ia menambahkan, data yang dimiliki rumah sakit umum daerah (RSUD) dokter Soetomo perhari ini, bahwa 79 persen penghuninya adalah warga ber KTP Surabaya. Apakah sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan oleh Wali Kota Risma dengan cara menangis dan bersujud?. Hal ini berbeda, kalau RSUD dokter Soetomo bertindak diskriminatif terhadap warga kota Surabaya.

“Nah, kalau itu yang terjadi bolehlah Walikota bersujud berkali-kali dan meminta belas kasihan,” katanya.

Ia menjelaskan, bahwa RSUD dokter Soetomo itu dibawah naungan Pemprov Jawa Timur dan melayani pasien  di 38 kota/kabupaten se Jawa Timur. Jika, lanjut Awey, rumah sakti tersebut melayani 79 persen warga non KTP Surabaya itupun juga hal wajar.

“Lagi pula tidak ada yang menyalahkan Risma kalau sampai pasien Covid di Surabaya terus bertambah. Kenapa harus merasa bersalah dan bersujud?. Tapi kalaupun benar merasa bersalah, maka seluruh jajaran ASN dilingkungan Pemkot memiliki Sense Of Crisis untuk memberikan kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan dan bekerja keras memutus mata rantai penyebaran Covid,” papar Awey.

Pelanggaran protokol mitigasi kesehatan bukanlah hal berat yang tidaklah harus disikapi dengan bersujud.

“Bangkitlah Ibu Walikota kami yang tercinta, mari kita semua bergotong royong, bersinergi dan bekerja keras untuk sungguh-sungguh memerangi pandemi covid ini,” pungkas Awey.(div/r7)

Loading...

baca juga