D-ONENEWS.COM

DPR Setujui Revisi UU 30/2002, Suara Koruptor Lemahkan KPK Kembali Menggema

Jakarta (DOC) – Seluruh fraksi di DPR RI setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR. Persetujuan seluruh fraksi ini disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019).

“Apakah RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?” tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat.

Seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju. Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tok! Utut pun langsung mengetok palu sidang tanda diresmikannya revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Tanggapan setiap fraksi atas usul RUU ini lalu langsung diserahkan secara tertulis kepada pimpinan, tidak dibacakan di dalam rapat paripurna.

Setelah diketok di Paripurna, Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.

“Ada tekad untuk menyelesaikan masa sidang ini,” kata anggota Baleg DPR, Hendrawan Supratikno.

Hendrawan meyakini revisi UU ini bisa selesai dalam waktu singkat karena seluruh fraksi sudah satu suara. Ia mengklaim semua fraksi yang ada di Baleg sepakat bahwa UU KPK harus direvisi.

“Kalau tidak (sepakat) ngapain dibawa ke paripurna hari ini. Kalau tidak kan hanya menambah pekerjaan rumah (DPR periode) yang akan datang,” ujar Hendrawan.

Hendrawan juga optimistis revisi UU ini akan cepat selesai karena DPR sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah. Apalagi, kata dia, prinsipnya pemerintah juga sudah menyetujui revisi ini sejak lama sejak 2015. Hanya saja pembahasannya sempat tertunda.

“Nanti kita lihat (sikap pemerintah). Sebenarnya revisi ini sudah disepakati DPR dan pemerintah makanya masuk Prolegnas,” kata dia.

Berdasarkan rapat Baleg pada 3 September 2019 dengan agenda pandangan fraksi-fraksi tentang penyusunan draf revisi UU KPK ada enam poin revisi UU KPK. Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen. Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN. Untuk diketahui, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.

Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3. Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.

Suara Penolakan
Di sisi lain, suara penolakan revisi UU KPK menggema. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hal itu sebagai serangan terhadap KPK.

“KPK diserang dari berbagai penjuru,” kata Koordinator Korupsi Politik ICW, Donal Fariz.

Donal mengatakan, serangan ke KPK terendus mulai dari proses seleksi KPK, upaya revisi undang-undang, hingga peninjauan kembali napi korupsi. Dia melihat upaya-upaya itu sebagai bentuk konsolidasi perlawanan balik koruptor ke KPK.

“Proses yang terjadi saat ini mulai dari seleksi KPK, upaya revisi UU, peninjauan kembali sejumlah napi korupsi bentuk konsolidasi corruptors Fight Back terhadap KPK,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang yang tegas menolak revisi UU KPK. Saut menilai, revisi itu ada implikasi negatif terhadap kinerja KPK.

“Intinya, KPK masih tetap berpandangan pada ketika konsep awal 4 perubahan itu akan dibuat, yaitu menolak ya karena ada implikasi negatif pada kinerja KPK. Kalau perihal sadap, SP3, badan pengawas, status ASN pada pegawai KPK ujung keraguan itu pada ke-independenan KPK yang didebat banyak orang. Tapi sebagai law maker punya kerja itu wilayah legislatif, namun berdebat di naskah akademiknya akan lebih elegan membahas 4 hal perubahan itu,” kata Saut.

Sementara itu, Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah juga menyatakan revisi itu saat ini belum dibutuhkan. Dia menduga revisi ini salah satu upaya melemahkan KPK.

Febri menilai revisi UU KPK butuh kesepakatan bersama antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan DPR. Menurutnya, UU adalah produk bersama DPR dan Presiden.

“KPK belum mengetahui dan juga tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut. Apalagi, sebelumnya berbagai upaya revisi UU KPK cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi,” ucap Febri.(kcm/dtc/ziz)

Loading...

baca juga