Jakarta,(DOC) – Sudah hampir 18 bulan sekolah-sekolah di Indonesia ditutup akibat pandemi COVID-19. Pasca Covid-19 melandai, kini UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mendorong pemerintah agar membuka semua sekolah secara aman, agar pembelajaran tatap muka(PTM) segera berlangsung secepat mungkin.
Berdasarkan data pemerintah, sejak Maret 2020 lalu, lebih dari 60 juta siswa di Indonesia terkena dampak penutupan sekolah.
Baru tanggal 6 September 2021, PTM mulai dibuka kembali, dan itupun baru 39 persen sekolah yang boleh buka, karena telah memenuhi syarat penyelenggaraan PTM secara terbatas.
WHO menyarankan agar sekolah menyelenggarakan PTM, meskipun di wilayah yang angka kasus COVID-nya masih tinggi. Tentunya PTM diikuti dengan penerapan protokol kesehatan (Prokes) yang harus dilakukan pihak sekolah secara ketat.
“Saat hendak membuka kembali sekolah, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah cara menerapkan protokol kesehatan yang esensial, seperti menjaga jarak minimal satu meter dan memastikan murid dapat mencuci tangan dengan sabun dan air secara teratur. Namun, kita pun harus ingat bahwa sekolah tidak berada di ruang vakum. Sekolah adalah bagian dari masyarakat,” ujar Dr. Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia, Rabu(15/9/2021).
“Dengan demikian, saat kita memutuskan untuk kembali membuka sekolah, kita harus pastikan penularan di masyarakat tempat sekolah berada juga dapat dikendalikan,” tambahnya.
Penutupan sekolah bukan hanya berdampak terhadap pembelajaran, tetapi juga terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak yang sedang dalam tahap penting perkembangannya, serta dengan konsekuensi jangka panjang.
Hasil survei Kementerian Kesehatan (kemenkes) RI dan UNICEF yang dilakukan baru-baru ini, bahwa sebanyak 58 persen dari 4.374 Puskesmas di 34 provinsi, menyatakan kesulitan menyediakan layanan vaksinasi di sekolah. Padahal anak di luar sekolah, juga lebih berisiko menjadi korban eksploitasi ataupun kekerasan fisik, emosional, dan seksual.
Di Indonesia sendiri, sekarang telah tercatat kenaikan yang memprihatinkan dari angka perkawinan usia dini dan kekerasan terhadap anak, sejak awal mula pandemi terjadi.
Di pengadilan-pengadilan agama, permohonan dispensasi nikah naik 3(tiga) kali lipat dari 23.126 ditahun 2019 menjadi 64.211 ditahun 2020.
Sementara pemerintah pusat dan daerah telah berupaya melakukan berbagai cara untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Meskipun sebagian di antaranya terbukti efektif, namun tak sedikit anak yang masih menghadapi hambatan signifikan dalam belajar.
Dalam sebuah survei yang dilakukan pada kuartal terakhir tahun 2020 di 34 provinsi dan 247 kabupaten/kota, lebih dari separuh atau 57,3 persen, rumah tangga dengan anak usia sekolah menyebutkan koneksi internet yang andal sebagai kendala utama.
Sekitar seperempat orang tua yang disurvei juga menyatakan mereka tidak memiliki waktu ataupun kemampuan untuk mendampingi anak melakukan pembelajaran jarak jauh. Sementara itu, tiga dari empat orang tua menyatakan khawatir bahwa anak akan mengalami kehilangan kompetensi.
“Bagi anak-anak, makna sekolah lebih dari sekadar ruang kelas. Sekolah adalah lingkungan tempat belajar, berteman, mendapatkan rasa aman, dan kesehatan,” kata Perwakilan UNICEF Debora Comini.
“Semakin lama anak berada di luar sekolah, semakin lama pula mereka terputus dari bentuk-bentuk dukungan penting ini. Jadi, seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas karena COVID-19, kita pun harus memprioritaskan pembukaan kembali sekolah dengan aman agar jutaan murid tidak perlu menanggung kerugian pembelajaran dan potensi diri seumur hidupnya,” tambahnya.
Sejalan dengan persiapan sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan kembali PTM di Indonesia, dibutuhkan pula langkah-langkah pengamanan yang komprehensif untuk meminimalkan dampak penutupan sekolah yang berkepanjangan terhadap kehidupan seorang anak. UNICEF dan para mitranya menyarankan tiga langkah prioritas yakni; Mengadakan program dengan sasaran khusus untuk mengembalikan anak dan remaja ke sekolah dengan aman, tempat mereka dapat mengakses pelbagai layanan yang memenuhi kebutuhan belajar, kesehatan, kesejahteraan psikososial, dan kebutuhan lain dari anak. Merancang program remedial atau program belajar tambahanuntuk membantu murid mengejar pembelajaran yang hilang sambil membantu mereka memahami materi-materi baru. dan terakhir Mendukung guru agar dapat mengatasi kehilangan pembelajaran, termasuk melalui teknologi digital.(r7)