D-ONENEWS.COM

Potong Kepala


Dhimam Abror Djuraid

Ikan membusuk dari kepala. Aktivis anti-korupsi sangat paham adagium itu. Emak-emak yang suka belanja di pasar juga sangat faham akan hal itu. Untuk membedakan ikan yang segar dari yang busuk tidak perlu mencium dan memeriksa seluruh badan ikan, cukup buka insangnya, kalau menghitam dan berbau busuk sudah pasti seluruh tubuh ikan busuk.

Adagium itu sekarang menjadi viral karena dikutip oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang mengancam akan memecat anak buahnya yang tidak bertindak tegas terhadap berbagai pelanggaran bawahannya. Tidak tangung-tanggung, Kapolri menggunakan narasi yang seram, ‘’potong kepala’’.

Ancaman potong kepala berarti ancaman hukuman mati. Potong kepala dilakukan oleh para algojo, tukang jagal berdarah dingin, yang bisa memutus leher dengan sekali tebas. Aksi algojo ini banyak dijumpai di masa lalu ketika hukuman mati masih diterapkan pada masa feodal.

Tapi, hukuman potong kepala masih banyak terjadi sekarang di tengah situasi perang di Timur Tengah maupun di wilayah-wilayah lain yang sedang bergolak. Hukum potong kepala atau hukum pancung juga masih menjadi bagian dari eksekusi hukuman mati di negara-negara yang menerapkan syariat Islam.

Di abad pertengahan Eropa hukuman pancung dilakukan oleh algojo dengan menebaskan pedang ke leher. Di Prancis, sampai dengan abad ke-18, hukuman pancung diterapkan oleh raja-raja monarki absolut dengan menggunakan mesin pembunuh ‘’guillotine’’ yang bisa memotong leher dengan sekali gerakan.

Guillotine menjadi mesin pembunuh yang paling efektif dan mengerikan yang menjadi simbol kekerasan berdarah selama Revolusi Prancis 1789. Ribuan orang menjadi korban potong kepala selama revolusi yang berlangsung sepuluh tahun. Raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette yang dikenal korup dan zalim mati dihukum potong leher dengan guillotine.

Tapi, para aktivis revolusioner mempunya dalil yang mengatakan bahwa revolusi akan memakan anaknya sendiri. Mereka yang menjadi inisiator revolusi berdarah akan menjadi korban kekerasan revolusi. Itulah yang dialami oleh Robespiere, salah satu tokoh utama Revolusi Prancis, yang akhirnya harus mengalami nasib tragis mati dipancung oleh guillotine.

Narasi potong kepala yang mengerikan itu sekarang disuarakan oleh Jenderal Listyo Sigit, bukan dalam konteks revolusi fisik seperti Revolusi Prancis, tapi dalam konteks revolusi mental di kalangan kepolisian. Kapolri rupanya gerah oleh serangkaian ulah indisipliner anak buahnya yang beberapa minggu terakhir ini menjadi viral nasional.

Kasus polisi yang melakukan bantingan smackdown terhadap mahasiswa yang melakukan demontrasi di Tangerang menjadi sorotan nasional. Polisi menjadi sasaran kecaman luas secara nasional karena dianggap tidak profesional dalam menangani kasus demonstrasi.

Seorang Kapolsek di Sulawesi Selatan melakukan pencabulan seksual terhadap seorang wanita yang ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus pidana. Sang Kapolsek meminta layanan seksual dari si wanita dengan janji akan membebaskan ayahnya dari jeratan pidana. Mudah diduga bahwa jurus rayuan buaya darat yang dilancarkan Si Kapolsek adalah palsu belaka. Tapi, wanita sudah telanjur teperdaya.

Polisi mengayomi dan melindungi. Itulah tugas utama polisi. Tapi hal itu seolah menjadi jargon kosong yang hanya sekadar menjadi hiasan mobil patroli. Kasus pelecehan seksual itu bukan sekadar pagar makan tanaman, tapi pagar makan tanaman sekalian menguntal tanahnya. Kapolsek itu bukan mengayomi dan melindungi tapi menunggangi.

Episode keji lainnya terjadi di sebuah polsek di Deli Serdang. Seorang wanita istri tersangka kasus narkoba dihamili oleh beberapa oknum polisi di polsek tempat suami si wanita ditahan. Bukan hanya satu polisi yang diduga terlibat, tapi beberapa orang sekaligus. Si wanita menjadi budak nafsu karena iming-iming hukuman ringan oleh oknum-oknum polisi itu.

Di Kalimantan Utara, seorang kapolres memamerkan keterampilan smackdown terhadap anak buahnya. Pada suatu acara sang kapolres mengampiri anak buahnya , dan tanpa babibu sang kapolres melayangkan tendangan keras ala tarung bebas UFC. Setelah itu disusul dengan tendangan dan satu kali pukulan yang membuat sang anak buah terjengkang KO.

Di tempat lain, seorang polisi yang kalap mendatangi rumah koleganya sesama anggota polisi. Lalu dor, ia menembakkan senjata dan membunuh sang teman. Penyebabnya, sang teman dianggap bertindak kurang ajar suka mengirim pesan mesra ke istri tersangka. Cemburu buta berakhir dengan pencabutan nyawa.

Kasus-kasus asusila yang melibatkan oknum polisi di berbagai daerah bermunculan. Ini tidak berarti hanya oknum polisi yang terlibat dalam tindak pelanggaran susila. Tetapi, ketika seorang penegak hukum melakukan pelanggaran hukum, maka hukum pagar makan tanaman berlaku, dan media pun melihatnya sebagai peristiwa dengan magnitude yang besar.

Pantas saja Kapolri Jenderal Sigit gerah dibuatnya. Beberapa hari belakangan ini institusinya menjadi sorotan tajam. Malah ada yang mengatakan bahwa polri tengah menjadi korban sabotase politik. Posisi Jenderal Sigit yang menjadi confidante, orang kepercayaan Presiden Jokowi, tengah digoyang.

Jenderal Sigit tidak tinggal diam. Dia langsung mengeluarkan pernyataan tegas dengan ancaman potong kepala. Siapapun yang tidak bisa menjadi teladan kepada anak buahnya akan menghadapi risiko potong kepala. Kalau kepala tidak bisa membersihkan ekornya maka kepala akan dipotong. Ikan membusuk dari kepala, karena itu untuk membersihkan ikan busuk kepala harus dipotong. Begitu pernyataan keras dan tegas dari Kapolri (28/10).

Adagium jadul Lord Acton mengatakan bahywa kekuasaan akan cenderung menjadi korup. Makin besar kekuasaan, makin besar korupsinya. Makin mutlak kekuasaan, makin mutlak korupsinya. Polri sekarang menjadi institusi yang powerful, dan karena itu kecenderungan korupsi di instutusi itu semakin besar.

Tindakan korupsi bukan sekadar menilap uang atau mengentit anggaran negara. Definisi itu terlalu sempit, karena tindak korupsi hanya terbatas pada kecurangan yang melibatkan kerugian keuangan negara secara materiil. Terdapat kerugian negara adalah kata kunci indikator korupsi. Kalau tidak ada kerugian negara berarti tidak ada korupsi.

Seseorang yang menerima sogokan miliaran rupiah untuk mengatur skor pertandingan sepak bola bukan korupsi, karena tidak memakai uang negara. Karena itu tim anti-mafia bola sekarang mandek tidak terdengar lagi kiprahnya.

Seorang kapolsek yang meminta layanan seksual dari istri tersangka kasus pidana tidak dianggap melakukan korupsi, karena tidak ada kerugian uang negara. Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang mendapat layanan pemakaian helikopter, atau seorang komisioner KPK yang berkomunikasi dengan tersangka korupsi, tidak dianggap melakukan korupsi karena tidak ada kerugian negara di dalamnya. Alih-alih dipotong kepala, komisioner KPK itu hanya dipotong gaji.

Definisi korupsi yang sangat sempit ini akan makin menyulitkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Perdefinisi, korupsi korupsi berasal dari kata ‘’corruptio’’ yang berarti hal yang merusak, hal yang membuat busuk, pembusukan, penyuapan, kerusakan, kebusukan, kemerosotan. Definisi itu diberikan oleh sosiolog B. Herry Priono yang melakukan studi komprehensif mengenai korupsi dan menuangkannya dalam buku 660 halaman, ‘’Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi’’, (2018).

Dalam studinya itu Priono melacak pengertian korupsi sejak era klasik abad pertengahan sampai dengan era modern. Priono menyimpulkan bahwa pada abad klasik definisi korupsi sangat luas, karena menyangkut semua tindakan yang menyebabkan kemerosotan dan pembusukan institusi. Di era modern justru definisi korupsi mengalami penyempitan dan bahkan sekarang menjadi semakin sempit karena hanya dikaitkan dengan kerugian negara.

Mungkin Jenderal Sigit menyadari fenomena itu. Dia melihat anak buahnya telah melakukan pembusukan karena kemerosotan moral. Perintah potong kepala yang dikeluarkan Jenderal Sigit akan membawa dampak signifikan kalau dijalankan dengan konseisten.

Kalau perintah potong kepala ini dijadikan kebijakan nasional oleh Presiden Jokowi maka proyek revolusi mental yang sempat terpental akan memperoleh momentumnya kembali. Tapi, sebagaimana revolusi yang memakan anaknya sendiri, revolusi mental pun bisa memakan anaknya sendiri.

Apakah Jokowi akan berani mengeluarkan instruksi potong kepala ala Jenderal Sigit? Kita tunggu. (*)

Loading...

baca juga