Sidoarjo,(DOC) – Para calon legislative yang akan maju pada Pemilu 2019 mendatang, perlu me-waspadai kemungkinan terjadinya kecurangan pada saat penghitungan suara di tiap-tiap TPS.
Petugas KPPS di TPS dan para saksi dari masing-masing partai politik bisa memanipulasi perolehan suara, dengan cara menyebut nama caleg atau partai yang tak sesuai kertas suara yang telah dicoblos pemilih.
Hal ini diungkapkan oleh Komisioner Divisi Teknis KPU Provinsi Jatim, Muhammad Arbayanto, saat melakukan diskusi dengan para awak media di acara Bimtek evaluasi pelaksanaan tahapan Pilgub Jatim 2018, di hotel Swiss Belin Sidoarjo, Kamis(26/7/2018).
Menurut dia, untuk memanipulasi suara di tingkat kecamatan dirasa sangat sulit terjadi, karena sudah tersedia data scan yang sudah di upload ke KPU kota/kabupatan dan bisa diketahui masyarakat umum.
Kecurangan yang sulit terdeteksi masih banyak terjadi di tingkat TPS saat penghitungan suara dan hal ini sangat merugikan Caleg dan partai tertentu.
“Jadi petugas KPPS menyebut nomer caleg dan partai yang ditunjukkan kepada saksi yang ditugasi partai. Padahal kertas suara yang ditunjukkan itu, nama caleg dan partainya tidak dicoblos seperti yang disebutkan. Ini masih sangat mungkin karena saksi lain tak akan pernah memperhatikan karena sangking banyaknya parpol peserta pemilu,” ungkapnya.
Kelemahannya lagi, apa yang terjadi di lokasi TPS hanya diketahui oleh saksi yang mendapat mandat dari Ketua Partai dan para petugas KPPS. Sehingga kalau ada partai atau caleg yang ingin memainkan suara, cukup bekerjasama dengan petugas KPPS dan saksi partai, tanpa bisa terdeteksi karena sangat rapi.
“Kalau dulu kasar, pakai paku terus dicoblos sendiri oleh petugas, atau dengan menggelembungkan suara melalui cetak kertas suara dua kali lipat. Sekarang tidak, cukup kerjasama saja dengan petugas KPPS dan saksi partai, maka akan lebih rapi. Memang banyak warga yang melihat tapi itu di luar lokasi TPS dan warga tak mencermati begitu detil. Lebih parah lagi kalau saksi caleg atau partai orangnya sama,” paparnya.
Untuk meminimalisir kecurangan di TPS memang perlu pengawasan yang berlapis. Tidak cukup hanya mengandalkan para saksi, tapi juga tim pemantau pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan saksi yang militan bekerja untuk partai atau calegnya.
Menurut Arbayanto, KPU sendiri masih memikirkan bentuk pengawasan Pemilu dengan tidak hanya mengandalkan Panwas, tapi memperbanyak rekomendasi pembentukan tim pemantau independen Pemilu 2019.
“Hanya itu yang bisa meminimalisir kecurangan di TPS. Keterlibatan media untuk mengekspose juga penting. Jadi intinya perketat pengawasan di TPS agar tidak terjadi kecurangan,” tandasnya.
Teknis penghitungan, menurut Arba, petugas KPPS membaca surat suara yang telah tercoblos kemudian di catat dalam formulir C1 milik petugas dan di tunjukkan ke saksi partai yang kemudian di catat ke form DAA milik saksi.
Dari kedua form tersebut yang akan dihitung dan dicocokkan mulai dari kecamatan, KPU kota/kabupaten, KPU provinsi dan KPU RI.
Jika dalam pencatatan form C1 dan form DAA sudah keliru, lanjut Arba, maka penghitungan suara sampai di tingkat pusat akan terus keliru.
“Makanya kadang ada rekomendasi hitung ulang berdasarkan kotak suara. Karena kadang surat suara dan pencatatannya terdapat selisih. Kebenarannya ya di kotak suara,” tandasnya.
Melakukan kecurangan memanipulasi suara dengan cara seperti ini memang sangat rapi, tapi membutuhkan biaya yang cukup mahal.
Ia mencontohkan, jika di satu TPS membutuhkan biaya Rp. 300 ribu, untuk membayar petugas KPPS dan saksi, maka kalau mengambil seribu TPS biayanya sudah berlipat menjadi Rp. 3 milliar.
“Itu kalau seribu TPS dan untuk 3 orang yang dibayar. Tapi kan kadang lebih dari itu. Ada lagi yang jual beli suara antar partai. Biasanya dilakukan partai gurem yang merasa tak mendapat kursi dan menjual suaranya ke Parpol lain. Semuanya memang membutuhkan biaya besar tapi memang rapid an sulit terdeteksi,” pungkasnya.(rob/r7)